CERPEN

Friday, June 02, 2006

Majalah Sastra Horison, No 5 Mei 1981, Thn. XVI
P A G U T
cerpen Rahmat Ali
Krokeh, suatu desa di Madiun. tahun 1939. Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur di lantai tanah. Hanya beralas selembar ti­kar tua. Begitu keadaanku. Karena orang tua miskin. Amben bambu hanya untuk bapak dan emakku. Mereka yang mem­beriku hidup. Bapak kerja: Emak mene­rima gaji dan mengolah makanan untuk kami bertiga. Jadi sesuailah kalau aku mendapat bagian hanya tidur di lantai tanah. Alhamdulillah pulas juga. Aku se­hari penuh sudah ikut bantu-bantu. Pagi-pagi nimba. Begitu dalammya sumur. Ber­puluh-puluh kali ember kunaikkan. Ku­isikan pada kulah. Padahal ukurannya cukup besar. Kalau aku berendam bisa termuat semua seluruh tubuhku. Ini selalu kulakukan kalau bapak menyuruhku menguras. Membersihkan lumut-lumutnya tiap dua minggu sekali. Bapak memang tidak suka kotor. Sedilkit saja butek aku langsung diperintahkan untuk mengganti dengan air baru. Ikan-ikan emas kutangkapi lebih dulu. Kucarikan gentong penam­pungan sementara. Begitu air kulah sudah baru maka ikan-ikan emas itu kucemplungkan kembali.Bapak dan emak tentunya senang, Me­reka mandi. Sorenya sabelum matahari terbenam aku menimba lagi. Walaupun begitu emak masih memberengut juga. Menyalakan ublik dan lampu teplok de­ngan memberengut. Membagi nasi juga membrengut. Kalau aku dewasa pasti aku bertanya, kenapa selalu bermasam cuka, aku salah apa, minta di tunjunkan biar aku bisa memperbaikinya. Nyatanya aku baru tiga belas, masih anak anak. Belum, punya penghasilan. Hidup masih menggandol orangtua. Maka aku harus menurut. Menguras tenaga. habis­-habisan. Siang sehabis sekolah, katau ada orang mambutuhkan, aku dengan senang menggembalakan kerbau-kerbaunya. Sore pulang mengisi kulah lagi untuk mandi bapak dan emak. Jadi aku tidak protes apa-apa. Pakoknya ransum tetap untukku. Sepiring nasi tidak penuh. Disiram bobor. Atau lodeh. Atau tempe baceman segum­pil. Minum air kendi. Minuman ini bisa kuteguk kenyang-kenyangPikilranku menerawang. Ke langit-langit yang terbuka. Jenis binatang itu betapa cepat menciptakan jala-jalanya. Terbuat hanya dari liurnya. Nyamuk-nyamuk yang kesasar tidak bisa berontak lagi. Jadi santapan. Apakah aku termasuk juga si lemah yang pada suatu saat kesasar di jarang laba-laba pencengkeram itu?Kiranya aku tak penlu berpikir terlalu jauh. Lebih baik tak perduli. Aku masih mempunyai dunia tersendiri. Dengan kawam-kawan penggembala. Atau kesibukan di sekolah. Nulis. Baca. Atau kasti melawan sekolahan lain. Di situ aku ber­kesempatan melampiaskan gejolak-gejolakku. Lari kencang-kencang. Teriak. Melem­par bola ke arah lawan. Atau aku yang kena bola sampai membekas. Kebiru-­biruan dan aku nyengir. Saat lainnya ke­tika memandikan kerbau-kenbau di sungai. Malamnya aku cepat ambruk. Paginya ge­ragapan. Sudah siang lagi. Nimba lagi. Sekolah tanpa sarapan. Kawan-kawan ber­sepatu. Kakiku sendiri cakar ayam. Baju yang itu-itu juga tanpa sangu. Kawan-­kawan lain banyak yang bersepeda. Aku terus jalan. Kalau merasa hampir terlambat aku terus berlari. Ya berlari. Berapa kali sehari? Terus lari. Terus. Jasmaniku tertempa. Mentalku terasah tidak terasa.Jauh lebih nikmat tidur dengan kemit-­kemit desa. Mereka bertugas meronda. Posnya di gardu. Selain meronda rumah-­rumah, mereka juga memeriksa saluran air di sawah. Soalnya banyak tangan usil yang suka menjebol atau membuntu aliran air. Ini bisa menimbulkan pertengkaran. Dengan perondaan maka tata tertib air lebih terjamin. Tepat jam duabelas ken­tongan dipukul. Kemudian tidur. Tidak jarang kemit-kemit didamprat lurah gara-­gara mereka lebih banyak ngorak dari pada jaga. Tahu-tahu padi selumbung su­dah ludes dibongkar maling. Kalau begitu tidak aman tidur bersama-sama para ke­mit di gardu. Bisa-bisa gerombolan kecu nekad menyerang gardu. Setelah kemit­-kemit diamankan secara kejam mereka bongkar lumbung atau menyikat lainnya yang lebih berharga. Maka lebih baik aku di rumah saja.Alangkah tenteramnya tidur bapak dan emak. Di atas dipan berkasur. Hangat. Beda sekali dengan diriku. Kedinginan. Terutama waktu desa dilanda hujan mu­sim rendeng. Serangga-serangga muncul dari liang. Mereka berkunjung ke tikarku. Hingga tidak heran kalau aku sampai di sengat kelabang yang berkaki seribu. Juga kalajengking. Aku memang tidak bisa menghindar.Pernah juga aku mengikuti kawan­-kawan keluar rumah waktu malam. Keti­ka itu musim tebu ditebang. Pabrik gula Rojoagung sibuk. Sejak pagi lori-lori ber­gantian, meluncur dari hanggarnya, pasti lewat desa kami. Pemandangan paling in­dah adalah malamnya. Api kecil memer­cik-mercik lewat cerabongnya. Ke langit hitam tanpa bulan: Genbang-gerbong pe­nuh lonjongan tebu berderak.. Sambungan besi dengan besi lainnya menciptakan bu­nyi yang berdernyit-dernyit. Mengundang hampir sebagian warga Krokeh tumplek. Tegak di sepan:jang rel. Peluit ditarik kuat-­kuat oleh masinis. Justru orang-orang se­perti tak mau minggiir. Mana anak-anak nya­lang. Orang-arang dewasa lebih nyalang. Kakek-kakek tidak mau ketinggalan pula. Semua bernafsu untuk mendapatkan tebu.Waker-waker memukul-mukulkan tong­kat ke arah mereka yang mulai meman­jat. Dicegah yang depan yang belakang mengganggu. Begitu bolak-balik. Beberapa sudah di atas gerbong. Melemparkan bun­del-bundel lonjoran tebu ke bawak Pen­cabut-pancabut dari samping demikian gesitnya bertindak. Iringan gerbong lori yang ditarik lokomatip kecil itu seperti seekor naga yang lelah. Seluruh tubuhnya luka. Begitu habis tikungan dia tampak kelelahan menuju Rojoagung. Peluitnya rintihan kesakitannya. Aku dan kawan-kawan, juga kebanyakan penghuni Krokeh, gembira sekali. Terlampiaskanlah sudah. Berapa lonjor yang sudah kucabut dari gerbong? Pada saat demi!kian kesempatan bagiku untuk berteriak sekeras-kerasnya. Tertawa yang selepas-lepasnya. Kukupas kulit tebu. Kureguk airnya. Hausku ter­obati. Kekangan hidupku mendapatkan kemerdekaan, biarpun masih samentara.Pada suatu malam berikutnya adalah saat yang tidak bisa kulupakan. Suparlan, Kusni. Jaw,ar, Jiyo dan Lamidi mengajak­ku ke sawah mencari kodok hijau. Empat orang di antara kami, termasuk aku, ber­tugas membawa obor dari tangkai papaya. Terang sekali. Aku berjalan di barisan belakang. Setiba di tikungan pematang aku merasakan sesuatu mencatek kakiku. Mula-mula tidak begitu kuperhatkan. Lama-lama berpengaruh juga. Langkah berat. Pusing. Badan lunglai dingin-dingin. Kawan-kawan kuberitahu. Kuanjurkan ke­pada mereka untuk balik. Mereka menu­rut. Aku dituntun ke rumah Kusni yang paling dekat. Dari jauh dia sudah panggil panggil."Mak, mak," katanya keras.Seorang perempuan separo baya muncul dari pintu belakang."Apa, Kus?”"Lihat Wadji, mak, Tiba-tiba lemas."Mak Pin mnyingsingkan lengan, baju­nya. Memperhatikan diriku dengan lebih teliti.kakiku diraba-rabanya."Ini yang sakit?" tanyanya diarahkan padaku."Ya, Mak,” jawabku."Benar memang," kata Mak Pin lagi."Terasa panas. Bengkak. Dipagut ular."Aku membelalak besar."Ular apa kira-kira, Mak Pin?" tanya Lamidi."Tungkin weling," jawabnya. "Coba ambilkan akik emak di kamar, Kus. Tenang saja, Wadji. Jangan gelisah."Suasana Mak Pin demikian kalem. Tetapi mataku makin membelalak. Perasaanku takut sekali. Weling sangat berbisa. Ham­pir semua orang tahu. Begini rasanya bisa weling menyerangku. Seperti tubuh ular itu menyusup ke dalam diriku melalui lu­bang luka. Terus ke betis. Dengkul. Paha. Selangkangan. Pinggul. Membeli-belit isi perut. Berarti sebentar kemudian sampai dada. Dia bakal membawa mulut lebar-­lebar. Lalu jantungku gilirannya dihancur­kan!Kepanikanku sudah di puncak. Umur muda. Baru tigabelas. Begitu pendek hidup. Padahal aku ingin lebih. Bepergian jauh. Bagaimana emak? Apa sudah ada yang memberitahu bapak di pabrik, ka­rena sedang tugas ronda? Memang me­reka bukan oarngtua kandungku. Aku di pungut ketika masih usia enam bulan. Gara-gara orangtua kandungku tengkar lalu bercerai. Ternyata bapak kandungku menghambur ke perempuan lain. Emakku merana. Jualan pecel dan kuwe-kuwe. Lalu datanglah bapak dan emak angkat­ku. Aku dihidupi mereka sampai besar. Bapakku ini sebagai mandor. Kerjanya tiap hari di pabrik gula Rojoagung. Ka­dang-kadang ikut lori mengambil tebu yang baru ditebang. Dasar aku yang tidak tahu diri. Aku pula yang menyanggongnya bersama kawan-kawan waktu lewat tikung­an desa. Tetapi bapak begitu baiknya pa­daku. Aku bersyukur dia menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri. Aku disekolahkan. Keperluanku selalu dipenuhi. Dengan segala usahanya yang keras. Aku tahu bapak dulu penjudi. Tidak menghe­rankan. Karena rata-rata karyawan pabrik adalah penjudi. Sepeqti dianjurkan oleh pimpinan pabrik. Mungkin pimpinannya yang Belanda itu senang sekali kalau para karyawannya terjerumas dalam perjudian. Mereka jadi melarat. Banyak hulang. Ka­lau sudah begitu enaklah si Belanda. Orang-orang itu, bapakku juga bisa diperas tenaganya dengan upah sedikit.Alhamdulillah bapak berhenti judi se­jak memungutku sebagai anak. Aku ada­lah harapannya. Aku masa depan bapak. Maka aku bisa masuk sekolah. Tetapi, biarpun sudah henti judi, sisa hutang ba­pak masih menumpuk. Ini sangat mengganggu pembayaran uang sekolahku. Ka­rena waktu itu aku masuk sekolah swasta, Aku tidak boleh nunggak lama-lama. Be­gitu tidak menguntungkan. Aku harus ke luar. Berapa kali sudah aku dikeluarkan. Pernah sampai setahun aku nganggur. Ha­nya mengisi kulah tiap pagi dan sore. Atau menggembala kerbau kalau ada orang yang suruh. Selebihnya nganggur. Kasihan bapak. Aku minta agar aku ker­ja saja jadi kuli di pabrik. Ayah marah. Bagaimanapun aku harus sabar beberapa saat. Aku menunggu. Dan betullah. Aku rnendapat kesempatan bersekolah lagi.Yang tidak bisa berhenti dari judi ada­lah emak. Entah mengapa? Mungkin sudah mendarah daging. Membudaya. Emak sering kalah. Kalau sudah begitu emak sering marah-marah. Kepada siapa saja. Juga kepadaku. Soal kecil saja bisa mem­bikin mulutnya teriak-teriak. Semoga saja aku masih bisa tahan.Rasa sakit semakin nyeri. Panas me­lonjak-lonjak. Kurasakan panasnya mendekati dada. Pada saat itulah Kusni da­tang. Dari kamar Mak Pin. Membawa cincin. Cincin itu bermata akik warna putih keabu-abuan. 0leh Mak Pin cincin itu diterima dengan gembira. Lalu mata akiknya ditempelkan pada luka bekas gigitan. Sesuatu yang lain dari yang lain kurasakan setelah itu. Tubuh ular seperti ditarik dari perutku sebelah atas. Lalu turun dan turun. Mulai dari perut ke ping­gul. Selangkangan. Paha. Dengkul. Betis. Dan seterusnya. Itulah bisanya yang tersedot keluar kembali dengan lancar berbentuk busa. Terkumpul di mulut luka. Di ujung mata akik terkumpul pula bisa­nya. Berbentuk buih-buih putih. Aku ti­dak pusing-pusing lagi. Semua yang menyaksikan pada terkesimak. Plong.Jkt, 17 Desember 1980.SLANGEBITRahmat AliKrokeh, een dorp bij Madioen, 1939Van jings af heb ik altijd gewoon op de grong geslapen. Op niet meer dan een dun versleten slaapmatje tussen mij en de aarde. Zo is mijn leven. Want mijn ouders zijn arm. Er is alleen een hamboebed voor mijn vader en moeder. Zij zorgen boor mij. Vader werkt. Moeder krijgt het geld en maakt het eten voor ons drieen. Tercht dus dat ik op de aarden grond moet slapen. Alhamdulillah, ik slaap nog lekker ook. Ik help al de hele dag mee in huls. ‘s Morgens vroeg eerst water putten. Diep dat die put is! Tientallen emmers hijs ik op! Die giet ik leeg in de waterbak. En die waterbak mag er wezen! Ik kan er met mijn hele lichaam onder water in staan. Dat doe ik altijd als ik van mijn vader het water moet verversen. Een keer in de twee weken moet ik die bak schoon boenen en de aanslag ban de randen afhalen. Vader houdt er niet van dat de mandibak vuil is. Als het water maar een beetje troebel ziiet, moet ik het van vader al verversen. Eerst vang ik de goudvissen. Die stop ik zolang in een pot. Zodra er weer shoon water in de waterbak zit, laat ik de goudvissen terugplonzen.Vader en moeder vinden het fijn met fris water te mandien. In de namiddag voor zonsondergang ga ik weer waterputten. Ook al doe ik dat, moeder kijkt altijd even stuurs. Met een stuurs gezicht steekt ze de olielampjes aan. Met een stuurs gezieht geeft ze ons onze portle rijst. Als ik later groot ben, vraag ik haar vast waarom ze toch altijd zo zuur is azijn, wat ik toch verkeerd doe en of ze het me uit wil leggen. Dan kan ik het beter proberen te doen. Maar ik ben pas dertien en nog klein. Ik verdien nog niets. Ik ben nog helemaat van mijn ouders afhankelijk. Dus moet ik wel doen wat zij zeggen. Ik doe heet erg mijn best voor hen. ‘s Middags na schooltijd hoed hoed ik met alle plezier jarbouwen, als niemand dat wil. Bij thuiskomst vul ik dan de waterbak, zodat vader en moeder kunnen baden. Ik protesteer met geen woord. Als ik maar mijn vaste rantsoen krijg. Een bord rijst helemaal tot de rand gevuld, met soep of sajoer lodeh, een stukje gebakken tempe en water uit de waterkruik. Water mag ik drinken zoveel ik wil.Mijn gedachten gaan aan de haal als ik een open spinneweb zie. Wat hebben die dieren zo’n net snel geweven. Met niets meer dan hun speeksel. De muggen die daarin terechtkomenkunnen geen kant meer uit. Ze worden allen nog maar uitgezogen. Hoor ik ook bij de zwakken die op een bepaald moment in het web en de dodelijke greep van zo’n spin belanden?Zover moet ik maar niet denken. Beter daar maar niet op door te gaan. Ik heb nog zo mijn eigen wereldje. Op het vee passen met mijn vriendjes. School, Schrijven, lezen. Of kastie spelen tegen een andere school. Daar kan ik me helemaal in uitleven. Heel hard rennen. Schreeywen, De bal heel ver weg slaan. Of zelf door de bal getroffen worden zodat ik onder de blauwe plekken kom te zitten. Maar dan kan me niet schelen. Een andere keer karbouwen baden in de rivier. ‘s Avonds val ik als een blok in slaap. ‘s Morgens ben ik dolblij dan het weer dag is. Water putten. Zonder ontbijt naar school. Bijna al mijn vriendjes hebben schoenen. Ik moet op blote voeten. Mijn bloes is ook maar zo zo. Zakgeld voor onderweg is er ook niet bij. Een heleboel van mijn vriendjes gaan op de fiets. Ik moet altijd lopen. Als ik bang ben dat ik te laat kom ren ik. Ja, rennen. Hoeveel keer per dag wel niet? Rennen. Altijd maar rennen. Het staalt mijn lichaam. En onegemerkt wordt ook mijn geest gescherp.Het allerleukste is het om bij de nachtwakers te slapen. Ze hebben een speciaal wachthuisje. Ze bewaken niet allen de huizen in het dorp, maar ook controleren ze de irrigatlekanaaltjes in de rijstvelden. Die worden namlijk door frijpgrave vingers nogal eens verstop of doorgestoken. Daar kunnen degrootste ruzies van komen. Door deze nachtclijke controle is er meer gatantie voor een eerlijke verdeling van het water. Precies om twallf uur ‘s nachts slaan ze op de tongtong. Daarna gaan ze slapen. Vaak krijgen ze van de loerah op hun kop omdat ze meer slapen dan waken. Zonder dat ze er iets van gemerkt heben, is de hele rijstschuur een keer leeggestolen. Dan is slapen bij de nachtwakers in het wachthuisje niet zo veilig. Het gebeurt ook wel dan een wachtpost door een bende wordt overvallen. Nadat ze de nachtwakers van kant hebben gemaakt, roven ze de hele dorpsschuur leeg of pikkenb andere waardevolle dinden. Dan kan ik maar beter gewoon thuis siapen.Wat slapen vader en moeder toch lekker. Op hun ben en hunmatras. En nog lekker warm ook. En heel verschil met mij. Ik heb het vaak koud. Vooral in de regentijd. Allerlei insekten komen uit hun hol te voorschijn en brengen mijn tikar een bezoek. Geen wonder dat ik wel eens door een duizendpoot of een schorpioen words gebeten. Daat kan ik echt niets aan doen.Ik ben ook wel eens ‘s nachts met vriendjes stiekem het huis uit geslopen. In de tijd van de suikerrietoogst. Het is dan bij de suikerlabriek Rodjoeagoeng altijd heel druk. Van de vroege morgen tot de late avond glijden de lorries af en aan uit de loods en komen langs ons dorps. Een schitterend gezieht, vooral ‘s avonds. Een klein vuur flakkert in de pijp omhoog naar de donkere hemel zonder maan. Knerpend rijden de wagons beladen met rietstengels voorbij. He schuren ban ijzer op ijzer geeft een zeer doordringend geluid en roept een deel ban de inwoners van Krokeh bijeen. Daar staan ze langs de rails. En de machinist maat fluiten. Net of de mensen geen stap opzij willen. De kinderen kijken met grote ogen en de groete mensen zetten nog grotere ogen op, tot zelfs oudjes. Allemaal zijn ze tuk op suikerriet.De bewakers slaan met stokken iedereen terug die naar boven probeert te klimmen. Als ze de voorste mensen weggejaagd hebben, moeten ze achteraan opnieuw beginnen. En omgekeerd. En paar zitten er al boven op een lorrie en gooeien hele bossen suikerriet naar beneden. Ook van opzij plukken de mensen er razendsnel bossen tussenuit. Die lange rij lorriers voortgetrokken door een kleine locomotief is net een overver moide slang. Met wonden over haar hele lijf. Na de bocht gaat het bergafwaarts richting Rodjoagoeng. De stoomfluit kreunt van pijn. Mijn vriendjes en ik en mer ons heel wat inwoners va Krokeh zijn helemaal door het dolle heen. Hoeveel bossen suikerriet hebben we niet te pakken gekregen! Op zo’n moment gil ik het uit van plezier en gleren we van de lach. Ik schil een rietstengel en zuig het sap eruit. Een uitstekend middel tegen de dorst. Mijn leven krijgt de vrije teugel, al is het maar even.Een van de volgende avonden geberurt er iers dat ik nooit van mijn leven zal vergeten. Ik was met een stel vriendjes, Soeparlan, Koesni, Djawar, Djijo en Lamidi de sawa’s ingegaan om groene kikkers te vange. We hadden vier fakkels bij ons van papajataken. Ik had er ook een. Dan geert veel licht. Ik liep aehteraan. In bocht van een sadijkeje voelde ik opeens iets in mijn been bijten. Eerst lette ik er niet op. Maar na een tijdje kreeg ik er last van. Het lopen viel me opeens heel zwaaar. Ik kreeg hoofdpijn en had het opeens koud. Ik vertelde het aan mijn vriendjes en ik vroeg of ze wilden teruggaan. Dan deden ze. Ze brachten me naar het huis van Koesni, want dat was het dichtste bij. Van verre riecp hij al: ‘Mam...Mam...’Een al wat oudere vrouw kwam de achterdeur uit.‘Wat is er, Koes?’‘Kijk eens naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’‘Kijk ecns naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’Boe Pin rolde de mouwen van haat kabaja wat op. Ze keek me onderzoekend aan. Haar handen berastten mijn been.‘Doet het hier pijn?’ vroeg me toen.‘Ja, Boe Pin.’ Zei ik.‘Dat klopt,’ zei ze weer. ‘ Het voelt warm aan en het is helemaal opgezet. Je bent door een slang gebeten.’Mijn ogen werden groot van schrik.‘Wat voor slang, Boe Pin?’ vroeg Lamidi.‘Vast een vergiftige, een witbuikslang, denk ik,’ zei ze, ‘Haal de agaat eens uit de kamer, Koes, Kalm maat, Wadji, Niet bang zijn.’De stem van Boe Pin klonk behecrst. Maar mijn ogen werden steeds groter. Ik was doodsbcnauwd. Een witbuikslang is erg vergiftig. Dat weet bijna iedereen. Dat die slang mij zo maar kon bijten! Ik had het gevoel alsof die slang met zijn helelijf bij mij naar binnen was geglipt. Door dat open wondje. En vandaar naar mijn kuit, mijn knie, mijn dij, mijn lies en mijn zij. Nu kronkelde hij door mijn buik. Nog even en hij was bij mijn borst. Dan zou hij zijn bek wijd opensperren en mijn hart verslinden.Ik was helemaat in paniek. Ik was nog zo jong. Pas dertien. Zou ik maar kort te leven hebben? En dat terwijl ik juist heel lang wilde leven, verre reizen wilde maken. Wist moeder het al? En had iemand vader die nachtdienst had op de fabrick al gewaarschuwd? Ze waren niet mijn echte vader en moeder. Want toen ik een baby van zch maanden was, hadden ze mij geadopteerd. Mijn echte ouders hadden namalijk altij herrie en waren uit elkaar gegaan. Het schijnt dat mijn echte vader altijd andere vrouwen had. Mijn echte moeder kon daar niet meer tegen en kwijnde weg. Ze verdiende allen wat geld met de verkoop ban koekjes en petjel. Toen kwamen mijn pleegouders en die hebben me grootgebracht. Mijn tweede vader is opzichter. Hij gant elke dag naar de suitkerfabriek van Rodjoagoeng. Soms gaat hij met de lorries mee om het pas geblukte suikerriet op te halen. Wat gedraag ik me eigenlijk toch afschuwelijk. Want samen met mijn vriendjes probeer ik dat suikerriet crat te halen wanneer de lorries door de bocht bij het dorp gaan En mijn vader is altijd zo goed voor me gewecst. Ik ben blij dat hij mij als heeft aangenomen. Hij heeft me op school gedaan en hij geeft me alles wat ik nodig heb, hoe hard hij daarvoor ook moet plosteren. Ik weet dat vader vroeger van gokken hield. Dat is geen wonder. De meeste arbeiders in de fabriek gokken graag. En het is net alsof de directie hen daarin aanmoedigt. Misschien vinden die Hollandse directeuren het wel prachtig als hun werknemers aan het gokken slaan. Het maakt hen straatarm. Ze krijgen schulden. En dan hebben die Hollanders een makkie aan hen. Want voor een schijntje kunnen ze die mensen, onder wie mijn vader, dan afbeulen.Alhamdulillah’, vader is met gokken gestopt toen hij mij als kind had aanggenomen. Ik ben zijn enige hoop. Ik ben vaders toekomst. Daarom mocht ik ook naar school. Maar al gokt hij nier meer, hij heeft nog wel een hoop schulden. Daardoor kan mijn schoolgeld vaak nier op tijd worden betaald. En omdat ik op een particuliere shool zit, kan ik geen uitstel van betaling krijgen. Zodra er niet meer aan mih te verdienen valt, moet ik van schoool af. Zo ben ik heel vaak van school gestuurd. Een keer duurde het wel een jaar voordat ik weer naar school kon. Ik had niets anders te doen dan ‘s morgens en ‘s avonds de mandibakken vulten. Of karbouwen hoeden als iemand dat vroeg. Arme vader. Ik vroeg hem of ik maar nier als koeli op de fabriek zou gaan werken. Maar toen werd vader boos. Ik moest hoe dan ook geduld hebben. Ik wachtte. En inderdaad. Ik kon weer naar school.Moeder kan jammer genoeg niet mer gokken stoppen. Waarom, weet ik niet. Het zit haar schijnlijk in het bloed. Het is zo’n gewoonte dat ze er niet meer afkomt. Ze verliest vaak. Dan is ze niet te genieten. Tegen. Tegen iedereen vaart ze uit. Ook tegen mij. Om de kleinste kleinigheden zet een grote mond op. Als ik het maar bij haar kan uithouden.Ik voel me steeds zieker en ellendiger woeden. Het branderige gevoel komt hoger en hoger. Ik voel het al bij mijn borst. Dan komt Koesni binnen met de ring uit de kamer van Boe Pin. Een ring met een wit-grijze agaat. Boe Pin pakt de ring opgelucht aan. Dan legt ze de agaat op de plek waar ik gebeten ben. Daarna krijg ik een heel gek gevoel. Net of dat slangelijf uit mijn bevenbuik wordt weggetrokken. Steeds verde naar beneden. Van mijn maag naar mijn heup, naar mijn lies, mijn dij, mijn knie en zo door. Dat is het gif dat wordt weggezogen. Het komt weer naar buiten. Razend snel! En het schuimt. Het blijft op de plek van de wond zitten, Ook aan de agaat zit gif. Het ziet eruits als wit schuim. Mijn hoofdpijn is opens over. Iedereen die het heeft megemakt, staat versteld. He! He! Een pak van mijn hart. ***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home