CERPEN

Monday, February 11, 2008



Inilah cerpen saya yang muncul pada awal tahun 2008:



Satu

Mangki adalah nama panggilan untuk monyet yang kini menjalankan perintah-perintah pemiaranya di kereta listrik jurusan Depok-Jakarta. Sebagai anaksemang tentu saja dia sudah hafal tugas rutin. Dengan diiring tabuhan gendang dan ecrek-ecrek yang dihentak-hendak kaki pemiara sekaligus induksemangnya itu dia membawa pikulan kecil di atas kedua pundaknya. Saat kereta bergerak gemuruh, di antara deretan bangku-bangku panjang penuh penumpang yang duduk dan yang tidak kebagian tempat hingga mau tidak mau terpaksa berdiri berdempet-dempet amat menyesakkan itu, toh Mangki dicarikan tempat agak lapang oleh pemiara sekaligus induksemangnya untuk mempertunjukkan kebolehan.
“Kapan aku istirahat,” kata Mangki dalam hati. “Dari saat kereta di setasiun Bogor mulai meluncur ke Jakarta mengangkut para penumpang manusia kemudian bolak-balik berbelas kali aku masih terus bekerja. Oh, aku ingin merdeka suatu hari. Tinggal tunggu waktunya saja. Aku yakin.”
Namun bagaimana Mangki bercita-cita menjadi mahluk merdeka kalau lehernya diikat tali kuat-kuat? Induksemangnya sudah sangat dikenal sebagai manusia sadis tidak memiliki perikebinatangan. Enak saja si manusia satu yang dekil bersandal jepit itu demikian lokek. Tiap hari dia menadahkan tangan pakai kantong blaco yang kumuh. Ke dalamnya beberapa penumpang yang sedikit tersentuh menaburkan sedencing logam. Ya, sedikitnya limaratus perak. Jika dikumpul-kumpul kan jadi banyak lama-lama. Mengapa Mangki hanya diberi sepotong tahu goreng yang tidak utuh lagi karena sisa gigitan sang pemiara alias induksemangnya. Mangki tidak bisa protes. Hanya menyeringai dengan mempertunjukkan gigi-giginya yang berjejer-jejer. Induksemang menafsirkan Mangki tertawa penuh terimakasih. Padahal dia amat sedih dan terhina derajatnya.

Dua
Mangki masih ingat masalalunya. Ketika masih di hutan sekitar lereng gunung Salak. Dia anak bungsu dari delapan bersaudara. Tahu-tahu terdengar tembakan senapan cis yang nyaring. Emaknya mendadak berteriak mengaduh kemudian terjatuh dari cabang pohon ke bumi di bawah. Anak-anak tidak tahu apa yang harus diperbuat kecuali meloncat liar ke ranting-ranting pohon yang lain. Sialnya Mangki yang baru usia sembilan bulan terlalu lamban. Malah terpeleset dan jatuh, untungnya ke semak. Saat itulah kakinya ditangkap oleh tangan manusia yang perkasa. Mangki meronta. Menggigit. Mencakar. Penangkapnya jauh lebih perkasa. Gigitan dan cakaran tidak berarti apa-apa bagi pemburunya. Dia menggunakan sarung kulit yang tebal di tangannya.
“Jangan berani-berani liar padaku ya! Kugulai nanti kamu, monyet cilik!”
Mangki dijual ke pasar Bogor. Dibeli induksemangnya. Dialah yang sabar dan tekun “mendidik” Mangki menjadi mahluk “santun”. Agar aman tidak lari, rantai kecil dililit ke ojadi calon pemain komidi monyet tunggal, Mangki makin mengerti kehidupan manusia, khususon pemiaranya. Mangki bisa menangkap maksud bahasa induksemangnya namun dia sendiri tidak pandai mengekspresikan. Hanya berbunyi “kik, kik, kik” saja.

Tiga
Di kereta listrik Bogor-Jakarta Mangki makin mendalami fungsi kuda besi yang bukan saja sarana angkutan manusia dari satu tempat ke lainnya, juga amat banyak yang secara langsung menggunakannya sebagai ladang pencaharian. Mangki si komedi monyet tunggal berarti menghadapi saingan-saingan lumayan banyaknya. Gendang dan ecrek--ecrek yang selalu mengiring selama pertunjukan bawa pikulan dengan berlari terseok-seok, saat meluncur pakai otopet kayu beroda kayu, saat bersalto dan lain-lainnya— diganggu teriakan penjaja minuman botol berbagai merk dagang lengkap gelas kosong plus es batu. Semuanya diangkut pakai dorongan. Saat mendorongnya sering diserempetkan ke kaki-kaki penumpang dengan cukup bilang “Permisi, permisi” beberapa kali. Seakan-akan dengan berkata begitu sahlah dia bergerak, membelah kerumunan para penumpang yang sudah begitu padat, seinci pun tak ada sela, toh berhasil juga penjaja minuman menembus barikade. Penjaja minuman bukan hanya satu dua orang. Ada belasan. Mereka main seruduk saja menyenggol kaki-kaki penumpang seperti tidak jadi masalah. Situasi yang tumpuk-menumpuk penumpang lelaki dan perempuan masih pula diganggu oleh para penjual mainan anak-anak, pemikul sekeranjang rambutan di salah satu setasiun, munculnya pengemis berbagai model seperti yang buta dituntun yang melek, yang cacat kaki hingga bergeraknya merangkak atau mengengsot. Ada pula yang berjalan sambil tiup klarinet rombeng fales. Toh kelompok anak-anak muda tidak mau kalah, atau tidak tahu diri tidak tahu malu, menengahi dengan mempertontonkan alat-alat musik semi lengkap mulai dari gitar, banyo, bas, akordeon, juga organ dan dram. Itu pertanda mereka tidak laku kerja di kantor-kantor. Atau dulunya drop-out fakultas karena agak kurang serius belajar. Akhirnya mengelompok dan mendirikan klub jrang-jreng-jrang-jreng. Pilihannya di gerbong demi gerbong kereta listrik. Demikianlah dari sekian macam pengemisan. Di dalam kepala Mangki merasa terheran-heran dan menyimpulkan betapa makin sulitnya hidup di dunia mahluk manusia!
Seberapa banyak uang recehan yang dimiliki para penderma?— pikir Mangki si pemeran komidi monyet tanpa diketahui induksemangnya. Apa ikhlas mereka memberi atau diam-diam mengumpat? Induksemang Mangki tidak perduli dengan yang dipikirkan anaksemangnya. Dia tetap menabuh gendang serta ecrek-ecreknya. Mangki seperti biasanya meluncur pakai otopet beroda kayu laju sekali dan toh dia telah menguasai saat berbelok. Menabrak sedikit ke kaki-kaki para penumpang juga tidak apa-apa. Mangki seperti telah dimaklumi dan bisa dimaafkan. Lalu induksemang menadahkan kantong hitam yang dekil, sama dekil dengan celana dan singlet pemiaranya.
Setelah seharian penuh menggelandang di dalam kereta listrik tanpa perduli para penumpang turun naik di setasiun-setasiun sepanjang jalur rel Bogor-Jakarta barulah induksemang dan Mangki beristirahat di pondok kontrakannya yang asal bisa dipakai baring beberapa jam saja. Sebelum itu Mangki diberi makan sisa-sisa dari nasi buangan warteg sebelah yang sudah jadi langganan pemiaranya. Bagi pemeran komidi monyet yang kampiun meluncur di atas otopet kayu beroda kayu itu sisa-sisa nasi warteg cukup enak dan gurih. Lagi pula sedang pas lapar-laparnya. Selama berkomedi di kereta listrik Mangki hanya berkesempatan makan, tegasnya sekedar mencicipi bungkus-bungkus robekan yang masih dilekati bekas roti, biskuit atau kadang-kadang hamburger, ada Mangki ya bekas gelas aqua yang telah tigaperempatnya diminum induksemang. Mangki dituntut lagi untuk cepat-cepat beratraksi dari gerbong yang paling belakang ke yang paling depan. Demi memburu persen recehan si pemeran komidi monyet harus ekstra super mengerahkan seluruh tenaga, sampai tidak jarang terjungkir-jungkir, membentur tiang bangku penumpang, bahkan saking kebeletnya kencing dan berak ya terpaksa di lantai gerbong juga dikeluarkan dari kemaluan dan lubang pantat. Toh belum sampai tuntas buang hajat kecil dan besar, rantai di leher Mangki sudah cepat-cepat ditarik keras oleh induksemang.

Dung-dung-dung…

Crek-crek-crek…

Mangki jadi perhatian beberapa penumpang yang dapat tempat duduk, juga dari mereka yang berdiri. Seorang penumpang perempuan yang duduk dan sempat menyaksikan adegan tersebut, yang kemudian menampak air kencing dan tahi monyet tercecer, segera membuang muka kea rah lain sambil menutup mulut pakai tisu.

Empat

Mangki menangis. Dia ingat waktu masih di hutan bersama emak dan saudara-saudaranya sesama mahluk monyet. Hutan merupakan dunia yang sorga bagi hewan pohon. Mangki waktu bayi sangat dimanja emaknya. Digendong. Lalu diajari melompat sedikit demi sedikit. Lama-lama tangkas. Bergelayutan di ranting-ranting. Memantul-mantul tidak sampai patah. Mengunyah pupus-pupus daun yang segar, terlebih habis diguyur hujan. Buah-buahan favorit juga berlimpah. Di hutan lereng gunung tidak bakal kehabisan makanan. Berluber-luber buah-buahan, tinggal petik dan makan sepuas-puas hati. Emaknya yang memberitahu dan mengajari anak-anaknya di saat kapan pohon jambu mendekati ranum, begitu juga pisang, nangka serta duku. Pokoknya berkecukupan pangan, tinggal petik kapan pun dan di mana pun di hutan. Hanya gara-gara pemburu emaknya mati tertembak. Saudara-saudaranya entah lari ke mana. Kehidupan tersulap jadi neraka dan Mangki pun menjelma jadi budak induksemang di kereta listrik Bogor-Jakarta. Tiap hari dia mendemonstrasikan bawa pikulan, naik otopet kayu beroda kayu, bercawat merah, gigi-giginya selalu menyeringai. Di dalam gerbong-gerbong kereta listrik bukan hutan lereng gunung tempat Mangki dengan emak dan saudara-saudaranya keluarga monyet dulu. Di kuda besi yang selalu berhenti di tiap setasiun ini Mangki menyaksikan dan merasakan persaingan hidup yang teramat kejam dan brutal di masyarakat mahluk manusia. Tidak jarang mereka saling memaki, mengumpat, bahkan berkelahi sampai melayangnya maut. Induksemang Mangki masih terus memukul gendang sambil tidak lupa mengecrek-ecrek pakai hentakan jari kaki. Kemudian berjalan ke deretan para penumpang sambil menyodorkan kantong blaco yang dekil seperti singlet dan celananya yang dekil pula. Sementara itu para penumpang yang sudah biasa menyaksikan merasa bosan. Mereka enggan menyedekahkan recehan!

Jakarta 5 Januari 2007.

Friday, October 26, 2007

SAPI
SI GEMBALA ISTRI

/ Rahmat Ali

I
Seperti anjing yang diikat tali pada lehernya Engkong Nur membawa sapinya ke rumah saya. Tetangga dekat saya itu kontan saja dengan polos bilang : “Duitin.” “Apanya diduitin?” tanya saya. “Sapi ini.” “Saya yang duitin?” “Ya.” “Nggak salah, Engkong?” “Kagak.” “Tidak, “Engkong. Tidak.” “Kenape?” “Belum waktunya.” “Sekarang ini waktu yang bagus.” “Pasti mahal sekali,” jawab saya. “Murah aja.” “Kagak punya duit.” “Duit kagak bunyi.” “Bener kagak punya.” “Berapa aja, duitin.” “Kagak.” “Ayolah.” “Bener kagak punya, Engkong.” “Boleh angsur, deh!”
Engkong Nur suka mendesak-desak. Terkadang malah setengah memaksa. Sudah saya katakan saya tidak punya duit. Gaji saya sangat pas-pasan. Tidak pernah ngobyek. Bukan koruptor. Disuruh bayar sapi pakai apa? Menggadaikan diri? Namun Engkong Nur tidak percaya. Dia menyerahkan tali sapinya ke saya begitu saja. Saya disuruh mencancang ke batang pohon. Saya kaget sekali. Kok begitu percaya saya mampu bayar walau dengan mengangsur? Andai saya macet tidak ngangsur sekian lama? “Kagak ngapa-ngapa,” jawabnya sambil-tertawa panjang.
Engkong Nur tidak mau menerima pengembalian sapinya. Saya makin bingung jadinya. Saya membawa kembali sang sapi ke rumah. Saya tambatkan ke batang pohon. Apa yang harus saya perbuat? “Gampang, Mas,” kata isteri saya. “Mamat bocah tetangga kita itu kan nganggur.” “Lalu?” “Suruh ngurus sapi.” “Apa mau?” “Jelas tidak menolak kalau diupah!” Pikiran isteri saya ternyata benar.

II
Sapi kami betina. Menurut Engkong Nur, seminggu sebelum “diserahkan” kepada saya telah dikawinkan lebih dulu. Tidak seperti manusia yang harus pakai lamaran kemudian dimeriahkan pesta serta dihadiri para undangan. Prosesi perkawinan sejoli sapi sederhana saja. Caranya (karena seumur-umur belum pernah tahu) sungguh unik. Engkong Nur menggiring sapinya ke rumah kenalannya yang memiliki sapi jantan. Di kandangnya dipertemukanlah kedua sapi yang berlainan kelamin tersebut. Untuk pemenuhan “hajat sex” yang cukup sekali itu saja Engkong Nur harus membayar sekian rupiah kepada kenalannya si pemilik “sapi pejantan”.
III
Sekali tempo Engkong Nur datang menengok bekas sapinya. Setelah diperiksa-periksa akhirnya dikatakan dengan penuh keyakinan bahwa sapi kami itu mulai hamil. “Benarkah itu Engkong?” tanya saya kurang percaya. “Tidak main-main, Engkong?” tanya isteri saya kurang percaya pula. “Kenapa saya musti bohong dan main-main?” Engkong Nur meneruskan: “Kalo sampai dia tidak bunting, kembalikan pada saya!”
Karena penjelasan yang pasti dari Engkong Nur tersebut isteri saya membelalakkan mata tanda kegirangan. Dia langsung membelai-belai perut sapi yang dipercaya telah bunting.

IV
Tanpa disangka saya mendapat tugas belajar. Isteri dan anak saya yang baru berumur empat bulan terpaksa saya tinggalkan di rumah sendirian. Saya pantang minta orangtua atau mertua menemani isteri dan anak. Kami berdua ditambah seorang anak masih kecil harus selalu siap mandiri, apa pun resikonya. Hanya sapi itulah penjaga rumah tiap harinya dengan Mamat pembersih kandang sekaligus pencari rumput. Jika malam turun suasana rumah kami di tengah kampung yang masih kosong belum berlampu listrik, sangatlah sepinya. Desas-desus mengatakan banyak maling. Bagaimana jika rumah yang saya tinggalkan disatroni maling? Ya kalau hanya curi barang, tidak apa-apalah. Tetapi kalau melukai bahkan sampai membunuh isteri bersama anak kecil baru berusia empat bulan? Bisakah mempertahankan diri? Berteriak sekeras-kerasnya pun tidak ada yang akan menolong karena letak rumah tetangga agak berjauahan. Untunglah ada sapi. Tulis isteri saya di dalam surat, sapi kami itu suka melenguh tengah malam. Dia berfungsi mirip hansip peronda malam. Satwa tersebut sangat peka situasi. Justru dia itulah yang sebenarnya berperan sebagai si gembala isteri berikut anak saya yang masih kecil. Dengan lenguhannya yang cukup keras maka orang-orang jahat akan ngacir dengan sendirinya. Hebat, hebat, puji saya di dalam balasan surat. Maka sediakan dia makanan sebaik-baiknya. Perbanyaklah rumput yang segar-segar. Carikan dedak yang berkualitas paling yahud. Jangan lupa air garam sebelanga. Juga sekali tempo gula tetes. Mudah-mudahan akan terus begitu kesiagaannya!
Lalu bagaimana Freddy sekarang? Apa dia masih terus menyebut-nyebut papa kok belum pulang-pulang. Pokoknya fotoku tunjukkan terus padanya. Jangan sampai Freddy jadi lupa punya papa yang sedang di negeri orang. Jangan pula sampai memanggilku “Oom” saat aku pulang nanti!

V
Dari surat-surat yang datang seminggu sekali saya bisa memantau situasi di rumah berikut sapi kami termasuk kegiatan Mamat sekalian. Setiap kubuka jendela sebangun dari tidur pagi-pagi, tulis isteri dalam suratnya, selalu kudengar sapi kita melenguh panjang. Seakan-akan satwa itu menyalam:
“Selamat Pagi, Bu.”
Maka langsung kubalas: “Selamat Pagi, Sapi.. .iiiiiiiiiiiiiiiii!” Besok paginya lagi lenguhnya lebih nyaring lagi: “Selamat Pagi, Bu. Selamat pagi, Freddy.” “Selamat Pagi, Sapi. . .iiiiiiiiiiiiiiiii!”
Freddy yang masih belum pandai bicara hanya tertawa-tawa kecil. Sapi kita memang makin menyenangkan, lanjut isteri saya di suratnya. Kalau malam dia tetap melenguh sebagai tanda kalau dia penjaga rumah yang setia dan selalu siap siaga. Perutnya, ya perutnya, tambah menggelembung. Kayaknya tidak lama lagi bakal beranak. Makanya Mamat kusuruh lebih berhati-hati mengurusnya. “Jangan kasih rumput kering. Cari rumput sesegar-segarnya,” perintahku ke Mamat saat pagi-pagi berangkat ke “bulak” yang merupakan lapangan berumput lebat. Dia pulang ke kandang dengan memikul rumput penuh-penuh di kedua keranjang. Kalau kulihat sapi kita agak malas-malas segera Mamat kusuruh memeriksa. Memang kerja sapi selalu bermalas-malas, duduk mendeprok di lantai tanah sambil terus memamah biak amat santainya. Tak bosan-bosan bawelku ke Mamat kalau sekali lagi sapi kita bermalas-malas. Jangan sampai sakit. Demi masa depan dan sapi kita juga. Aku juga ikut menyediakan air garam sebelanga untuk diminumkan. Makan dedaknya lebih bersemangat. Sekali-kali gula tetes kutambahkan pula untuk diminum agar badannya lebih kuat.

VI
Mas, kalau sapi kita sebentar lagi beranak, kita bakal punya dua. Berarti kita nanti betul-betul akan kaya, Mas. Tahun depan kita kirim ke sapi pejantan, lalu hamil dan tidak lama sesudah itu beranak lagi. Kalau tiap tahun beranak, nanti kita bisa punya sepuluh ekor. Apa kelak kita bikin “ranch” seperti di Amerika. Freddy kalau besar jadi koboinya di atas kuda. Boleh berpestol juga, kan? Jadi kalau ada penjahat datang dia bisa melawan dengan gigih. Wah, sangat lumayan. Untung besar kita ini, Mas!
Saya sempat berkhayal juga lantaran pengaruh surat isteri. Jangan berambisi terlalu tinggi sampai membikin peternakan besar seperti rach segala. Yang sederhana dulu, mulai dari kandang yang perlu diperbesar.
Galian saluran air kotor dari kandang perlu dilancarkan ke lubang yang dalam. Isteri juga kusuruh memerintahkan ke Mamat memupuk pohon-pohon sekeliling pagar batas pekarangan biar lebih subur. Surat balasan isteri menjelaskan situasi lebih lanjut. Berkat pupuk kotoran sapi maka buah rambutan, kecapi, kesah, belimbing, pisang, sukun dan kelapa begitu rimbunnya dan matang di pohon. Aku sudah amat kenyang makan buah-buahan dari pekarangan rumah sendiri. Akhirnya tukang buah berdatangan untuk memborong buah-buahan yang matang terutama rambutan, pisang dan sukun. Lumayanlah untuk tambahan beli susu bubuk anak kita Freddy.

VII
Surat isteri tiga bulan sebelum kepulangan saya dari mancanegara sungguh sangat mengejutkan. Dituliskan kalau Mamat pulang ke kampung asalnya di Ciamis. Alasan apa kepergiannya yang mendadak meninggalkan kewajiban di rumah mengurus sapi, tidak disebutkan oleh isteri saya. Di mancanegara saya ikut kelabakan. Andaikata jaraknya dekat saya bisa seketika naik bis. Tetapi bukankah amat jauh di seberang lautan. Harus pakai pesawat lagi seharian. Wah, tidak mungkin. Maka saya mengharapkan surat kilat berikutnya dari rumah.
Berita yang menyusul lebih dahsyat lagi. Sapi kami telah melahirkan. Tetapi nasibnya yang tidak ketulungan. Kasihan sekali. Saat itu tengah malam. Isteri dan anak saya sedang nyenyak tidur. Jadi perjuangan hidup mati sang sapi saat mau beranak tidak diketahui oleh mahluk mana pun. Apakah itu tetangga, isteri dan anak saya, termasuk semut, kumbang, cicak, tokek, bajing-bajing di pohon dan kucing pun tidak ada yang tahu sama sekali. Padahal sang sapi sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Keringat terperas habis-habisan. Darah pun tak terkira-kira menyembur. Andaikata yang sedang menghadapi masalah kelahiran itu manusia dan lokasinya di rumahsakit, pasti ributlah. Pasti pihak keluarga pasien menuntut rumahsakit. Pasti digembar-gemborkan ada malpraktek dan ketidakperdulian antar sesama manusia. Sedangkan di kandang sapi waktu itu jelas-jelas bukan rumahsakit. Tidak ada perawat. Tidak ada dokter. Jadi merana sekali sapi kami yang sendirian terus berjuang. Berjuang dalam kesia-siaan. Tetap tidak ada yang mengelus-elus perut atau memberi perangsang untuk cepat keluar wajar. Si bayi sapi sendiri jadi tidak mungkin mampu dengan mulus meluncur bersama ari-ari plus ketuban dari saluran seperti lumrahnya. Malam berlangsung dengan berat dan begitu lamanya. Sapi kami sangat menderita tanpa diketahui siapa-siapa. Tidak ada Mamat, apalagi Engkong Nur bekas pemilik awalnya sebelum kami.
Pagi harinya kebetulan saat matahari sudah agak tinggi isteri dan anak saya baru melek tidur. Saat membuka jendela tidak mendengar lenguhan “Selamat Pagi, Bu” seperti adatnya. Begitu isteri saya ke kandang dia menyaksikan keadaan bayi sapi sudah tersungsang. Tergantung-gantung di pinggiran rahim. Keluar tidak bisa, masuk lagi pun sulit. Induk sapi amat sangat lemahnya di lantai kandang. Dengan anak saya yang sudah berusia delapan bulan isteri berteriak-teriak melintas pekarangan yang belum terpagar ke rumah tetangga yang agak berjauhan lokasinya. “Tolong, tolong,” teriak isteri saya berulang-ulang. “Ada apa, ada apa?” “Sapi saya, sapi saya!”

VIII
Kok ndilalah Engkong Nur tidak ada di rumah. Dia ikut mengantar Mamat pulang ke Ciamis. Jadi para tetangga lainlah yang berdatangan. Setelah tahu keadaan yang sebenarnya emak-emak yang sudah berpengalaman segera menyingsingkan lengan baju masing-masing. Dengan hati-hati mereka mulai membetot bayi sapi untuk mudah-mudahan bisa keluar dari lubang rahim. Memang boleh dikata sudah amat terlambat. Bayi sapi tersebut kekurangan oksigen. Dia tidak bernafas lagi. Induk sapi pun ikut-ikut lemah, bahkan dalam sehari dua hari bisa-bisa mati. Maka daripada tidak mendapatkan apa-apa isteri saya disarankan untuk cepat-cepat menjualnya saja. “Berapa kira-kira harganya?” tanya isteri saya. “Ya murah tentunya daripada mati percuma,” jawab umumnya para emak yang baru menolong. Isteri saya mengikuti saran mereka. Semua barangkali gara-gara Mamat pulang ke kampung asal Ciamis. Juga gara-gara Engkong Nur ikut-ikut mengantar Mamat. Tidak ada yang mengerti urusan sapi. Ya, nasib. Ingin kaya dengan banyak sapi, tahu-tahunya bayi sapi tersungsang. Induknya terpaksa dijual murah daripada tidak mendapatkan apa-apa. Isteri saya tidak lagi mendengar: “Selamat Pagi, Bu”. Dan biasa dijawab isteri saya: “Selamat Pagi, Sapi.. .iiiiiiiiiii!”

IX
Saya amat terkesan bait-bait lagu Norma Sanger yang populer sekali dinyanyikan lewat radio pada tahun 1960-an. Walau saat itu belum ada televisi namun para pendengar bisa membayangkan bagaimana seorang gembala sapi alias koboi menggirng puluhan sapi di padang rumput luas dan baru pulang menjelang senja. Suara penyanyi bukan saja merdu namun juga meliuk-liuk yang sangat cocok dengan suasana pedesaan yang aman damai jauh dari kota besar. Syair lagu tersebut sebagai berikut:

Bila hari telah petang
Sapi pulang ke kandang
Aku turut dari belakang

Bila sudah tutup pintu kandang
Si gembala menyenangkan badan
Inilah kerjanya si gembala sapi
Apa yang kupikirkan lagi

O liyo liyo liyo
Liyo liyo liyo
Liyo liyo liyo, dst, dst.

Ya, semua tinggal kenangan. Tidak lagi ada sapi si penjaga sekaligus si gembala isteri waktu malam sepi dengan lenguh-lenguhnya. Juga tidak ada lagi Mamat si pencari rumput serta tukang memandikannya. Kami pun tidak bisa lagi mimpi sapi beranakpinak dan kami akan bisa menggembalakannya di padang rumput luas sebagaimana seorang koboi. Yang di dalam pikiran kami hanya khayal belaka!

Jakarta, 24 Maret 2005.

Friday, June 02, 2006

Majalah Sastra Horison, No 5 Mei 1981, Thn. XVI
P A G U T
cerpen Rahmat Ali
Krokeh, suatu desa di Madiun. tahun 1939. Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur di lantai tanah. Hanya beralas selembar ti­kar tua. Begitu keadaanku. Karena orang tua miskin. Amben bambu hanya untuk bapak dan emakku. Mereka yang mem­beriku hidup. Bapak kerja: Emak mene­rima gaji dan mengolah makanan untuk kami bertiga. Jadi sesuailah kalau aku mendapat bagian hanya tidur di lantai tanah. Alhamdulillah pulas juga. Aku se­hari penuh sudah ikut bantu-bantu. Pagi-pagi nimba. Begitu dalammya sumur. Ber­puluh-puluh kali ember kunaikkan. Ku­isikan pada kulah. Padahal ukurannya cukup besar. Kalau aku berendam bisa termuat semua seluruh tubuhku. Ini selalu kulakukan kalau bapak menyuruhku menguras. Membersihkan lumut-lumutnya tiap dua minggu sekali. Bapak memang tidak suka kotor. Sedilkit saja butek aku langsung diperintahkan untuk mengganti dengan air baru. Ikan-ikan emas kutangkapi lebih dulu. Kucarikan gentong penam­pungan sementara. Begitu air kulah sudah baru maka ikan-ikan emas itu kucemplungkan kembali.Bapak dan emak tentunya senang, Me­reka mandi. Sorenya sabelum matahari terbenam aku menimba lagi. Walaupun begitu emak masih memberengut juga. Menyalakan ublik dan lampu teplok de­ngan memberengut. Membagi nasi juga membrengut. Kalau aku dewasa pasti aku bertanya, kenapa selalu bermasam cuka, aku salah apa, minta di tunjunkan biar aku bisa memperbaikinya. Nyatanya aku baru tiga belas, masih anak anak. Belum, punya penghasilan. Hidup masih menggandol orangtua. Maka aku harus menurut. Menguras tenaga. habis­-habisan. Siang sehabis sekolah, katau ada orang mambutuhkan, aku dengan senang menggembalakan kerbau-kerbaunya. Sore pulang mengisi kulah lagi untuk mandi bapak dan emak. Jadi aku tidak protes apa-apa. Pakoknya ransum tetap untukku. Sepiring nasi tidak penuh. Disiram bobor. Atau lodeh. Atau tempe baceman segum­pil. Minum air kendi. Minuman ini bisa kuteguk kenyang-kenyangPikilranku menerawang. Ke langit-langit yang terbuka. Jenis binatang itu betapa cepat menciptakan jala-jalanya. Terbuat hanya dari liurnya. Nyamuk-nyamuk yang kesasar tidak bisa berontak lagi. Jadi santapan. Apakah aku termasuk juga si lemah yang pada suatu saat kesasar di jarang laba-laba pencengkeram itu?Kiranya aku tak penlu berpikir terlalu jauh. Lebih baik tak perduli. Aku masih mempunyai dunia tersendiri. Dengan kawam-kawan penggembala. Atau kesibukan di sekolah. Nulis. Baca. Atau kasti melawan sekolahan lain. Di situ aku ber­kesempatan melampiaskan gejolak-gejolakku. Lari kencang-kencang. Teriak. Melem­par bola ke arah lawan. Atau aku yang kena bola sampai membekas. Kebiru-­biruan dan aku nyengir. Saat lainnya ke­tika memandikan kerbau-kenbau di sungai. Malamnya aku cepat ambruk. Paginya ge­ragapan. Sudah siang lagi. Nimba lagi. Sekolah tanpa sarapan. Kawan-kawan ber­sepatu. Kakiku sendiri cakar ayam. Baju yang itu-itu juga tanpa sangu. Kawan-­kawan lain banyak yang bersepeda. Aku terus jalan. Kalau merasa hampir terlambat aku terus berlari. Ya berlari. Berapa kali sehari? Terus lari. Terus. Jasmaniku tertempa. Mentalku terasah tidak terasa.Jauh lebih nikmat tidur dengan kemit-­kemit desa. Mereka bertugas meronda. Posnya di gardu. Selain meronda rumah-­rumah, mereka juga memeriksa saluran air di sawah. Soalnya banyak tangan usil yang suka menjebol atau membuntu aliran air. Ini bisa menimbulkan pertengkaran. Dengan perondaan maka tata tertib air lebih terjamin. Tepat jam duabelas ken­tongan dipukul. Kemudian tidur. Tidak jarang kemit-kemit didamprat lurah gara-­gara mereka lebih banyak ngorak dari pada jaga. Tahu-tahu padi selumbung su­dah ludes dibongkar maling. Kalau begitu tidak aman tidur bersama-sama para ke­mit di gardu. Bisa-bisa gerombolan kecu nekad menyerang gardu. Setelah kemit­-kemit diamankan secara kejam mereka bongkar lumbung atau menyikat lainnya yang lebih berharga. Maka lebih baik aku di rumah saja.Alangkah tenteramnya tidur bapak dan emak. Di atas dipan berkasur. Hangat. Beda sekali dengan diriku. Kedinginan. Terutama waktu desa dilanda hujan mu­sim rendeng. Serangga-serangga muncul dari liang. Mereka berkunjung ke tikarku. Hingga tidak heran kalau aku sampai di sengat kelabang yang berkaki seribu. Juga kalajengking. Aku memang tidak bisa menghindar.Pernah juga aku mengikuti kawan­-kawan keluar rumah waktu malam. Keti­ka itu musim tebu ditebang. Pabrik gula Rojoagung sibuk. Sejak pagi lori-lori ber­gantian, meluncur dari hanggarnya, pasti lewat desa kami. Pemandangan paling in­dah adalah malamnya. Api kecil memer­cik-mercik lewat cerabongnya. Ke langit hitam tanpa bulan: Genbang-gerbong pe­nuh lonjongan tebu berderak.. Sambungan besi dengan besi lainnya menciptakan bu­nyi yang berdernyit-dernyit. Mengundang hampir sebagian warga Krokeh tumplek. Tegak di sepan:jang rel. Peluit ditarik kuat-­kuat oleh masinis. Justru orang-orang se­perti tak mau minggiir. Mana anak-anak nya­lang. Orang-arang dewasa lebih nyalang. Kakek-kakek tidak mau ketinggalan pula. Semua bernafsu untuk mendapatkan tebu.Waker-waker memukul-mukulkan tong­kat ke arah mereka yang mulai meman­jat. Dicegah yang depan yang belakang mengganggu. Begitu bolak-balik. Beberapa sudah di atas gerbong. Melemparkan bun­del-bundel lonjoran tebu ke bawak Pen­cabut-pancabut dari samping demikian gesitnya bertindak. Iringan gerbong lori yang ditarik lokomatip kecil itu seperti seekor naga yang lelah. Seluruh tubuhnya luka. Begitu habis tikungan dia tampak kelelahan menuju Rojoagung. Peluitnya rintihan kesakitannya. Aku dan kawan-kawan, juga kebanyakan penghuni Krokeh, gembira sekali. Terlampiaskanlah sudah. Berapa lonjor yang sudah kucabut dari gerbong? Pada saat demi!kian kesempatan bagiku untuk berteriak sekeras-kerasnya. Tertawa yang selepas-lepasnya. Kukupas kulit tebu. Kureguk airnya. Hausku ter­obati. Kekangan hidupku mendapatkan kemerdekaan, biarpun masih samentara.Pada suatu malam berikutnya adalah saat yang tidak bisa kulupakan. Suparlan, Kusni. Jaw,ar, Jiyo dan Lamidi mengajak­ku ke sawah mencari kodok hijau. Empat orang di antara kami, termasuk aku, ber­tugas membawa obor dari tangkai papaya. Terang sekali. Aku berjalan di barisan belakang. Setiba di tikungan pematang aku merasakan sesuatu mencatek kakiku. Mula-mula tidak begitu kuperhatkan. Lama-lama berpengaruh juga. Langkah berat. Pusing. Badan lunglai dingin-dingin. Kawan-kawan kuberitahu. Kuanjurkan ke­pada mereka untuk balik. Mereka menu­rut. Aku dituntun ke rumah Kusni yang paling dekat. Dari jauh dia sudah panggil panggil."Mak, mak," katanya keras.Seorang perempuan separo baya muncul dari pintu belakang."Apa, Kus?”"Lihat Wadji, mak, Tiba-tiba lemas."Mak Pin mnyingsingkan lengan, baju­nya. Memperhatikan diriku dengan lebih teliti.kakiku diraba-rabanya."Ini yang sakit?" tanyanya diarahkan padaku."Ya, Mak,” jawabku."Benar memang," kata Mak Pin lagi."Terasa panas. Bengkak. Dipagut ular."Aku membelalak besar."Ular apa kira-kira, Mak Pin?" tanya Lamidi."Tungkin weling," jawabnya. "Coba ambilkan akik emak di kamar, Kus. Tenang saja, Wadji. Jangan gelisah."Suasana Mak Pin demikian kalem. Tetapi mataku makin membelalak. Perasaanku takut sekali. Weling sangat berbisa. Ham­pir semua orang tahu. Begini rasanya bisa weling menyerangku. Seperti tubuh ular itu menyusup ke dalam diriku melalui lu­bang luka. Terus ke betis. Dengkul. Paha. Selangkangan. Pinggul. Membeli-belit isi perut. Berarti sebentar kemudian sampai dada. Dia bakal membawa mulut lebar-­lebar. Lalu jantungku gilirannya dihancur­kan!Kepanikanku sudah di puncak. Umur muda. Baru tigabelas. Begitu pendek hidup. Padahal aku ingin lebih. Bepergian jauh. Bagaimana emak? Apa sudah ada yang memberitahu bapak di pabrik, ka­rena sedang tugas ronda? Memang me­reka bukan oarngtua kandungku. Aku di pungut ketika masih usia enam bulan. Gara-gara orangtua kandungku tengkar lalu bercerai. Ternyata bapak kandungku menghambur ke perempuan lain. Emakku merana. Jualan pecel dan kuwe-kuwe. Lalu datanglah bapak dan emak angkat­ku. Aku dihidupi mereka sampai besar. Bapakku ini sebagai mandor. Kerjanya tiap hari di pabrik gula Rojoagung. Ka­dang-kadang ikut lori mengambil tebu yang baru ditebang. Dasar aku yang tidak tahu diri. Aku pula yang menyanggongnya bersama kawan-kawan waktu lewat tikung­an desa. Tetapi bapak begitu baiknya pa­daku. Aku bersyukur dia menganggapku sebagai anak kandungnya sendiri. Aku disekolahkan. Keperluanku selalu dipenuhi. Dengan segala usahanya yang keras. Aku tahu bapak dulu penjudi. Tidak menghe­rankan. Karena rata-rata karyawan pabrik adalah penjudi. Sepeqti dianjurkan oleh pimpinan pabrik. Mungkin pimpinannya yang Belanda itu senang sekali kalau para karyawannya terjerumas dalam perjudian. Mereka jadi melarat. Banyak hulang. Ka­lau sudah begitu enaklah si Belanda. Orang-orang itu, bapakku juga bisa diperas tenaganya dengan upah sedikit.Alhamdulillah bapak berhenti judi se­jak memungutku sebagai anak. Aku ada­lah harapannya. Aku masa depan bapak. Maka aku bisa masuk sekolah. Tetapi, biarpun sudah henti judi, sisa hutang ba­pak masih menumpuk. Ini sangat mengganggu pembayaran uang sekolahku. Ka­rena waktu itu aku masuk sekolah swasta, Aku tidak boleh nunggak lama-lama. Be­gitu tidak menguntungkan. Aku harus ke luar. Berapa kali sudah aku dikeluarkan. Pernah sampai setahun aku nganggur. Ha­nya mengisi kulah tiap pagi dan sore. Atau menggembala kerbau kalau ada orang yang suruh. Selebihnya nganggur. Kasihan bapak. Aku minta agar aku ker­ja saja jadi kuli di pabrik. Ayah marah. Bagaimanapun aku harus sabar beberapa saat. Aku menunggu. Dan betullah. Aku rnendapat kesempatan bersekolah lagi.Yang tidak bisa berhenti dari judi ada­lah emak. Entah mengapa? Mungkin sudah mendarah daging. Membudaya. Emak sering kalah. Kalau sudah begitu emak sering marah-marah. Kepada siapa saja. Juga kepadaku. Soal kecil saja bisa mem­bikin mulutnya teriak-teriak. Semoga saja aku masih bisa tahan.Rasa sakit semakin nyeri. Panas me­lonjak-lonjak. Kurasakan panasnya mendekati dada. Pada saat itulah Kusni da­tang. Dari kamar Mak Pin. Membawa cincin. Cincin itu bermata akik warna putih keabu-abuan. 0leh Mak Pin cincin itu diterima dengan gembira. Lalu mata akiknya ditempelkan pada luka bekas gigitan. Sesuatu yang lain dari yang lain kurasakan setelah itu. Tubuh ular seperti ditarik dari perutku sebelah atas. Lalu turun dan turun. Mulai dari perut ke ping­gul. Selangkangan. Paha. Dengkul. Betis. Dan seterusnya. Itulah bisanya yang tersedot keluar kembali dengan lancar berbentuk busa. Terkumpul di mulut luka. Di ujung mata akik terkumpul pula bisa­nya. Berbentuk buih-buih putih. Aku ti­dak pusing-pusing lagi. Semua yang menyaksikan pada terkesimak. Plong.Jkt, 17 Desember 1980.SLANGEBITRahmat AliKrokeh, een dorp bij Madioen, 1939Van jings af heb ik altijd gewoon op de grong geslapen. Op niet meer dan een dun versleten slaapmatje tussen mij en de aarde. Zo is mijn leven. Want mijn ouders zijn arm. Er is alleen een hamboebed voor mijn vader en moeder. Zij zorgen boor mij. Vader werkt. Moeder krijgt het geld en maakt het eten voor ons drieen. Tercht dus dat ik op de aarden grond moet slapen. Alhamdulillah, ik slaap nog lekker ook. Ik help al de hele dag mee in huls. ‘s Morgens vroeg eerst water putten. Diep dat die put is! Tientallen emmers hijs ik op! Die giet ik leeg in de waterbak. En die waterbak mag er wezen! Ik kan er met mijn hele lichaam onder water in staan. Dat doe ik altijd als ik van mijn vader het water moet verversen. Een keer in de twee weken moet ik die bak schoon boenen en de aanslag ban de randen afhalen. Vader houdt er niet van dat de mandibak vuil is. Als het water maar een beetje troebel ziiet, moet ik het van vader al verversen. Eerst vang ik de goudvissen. Die stop ik zolang in een pot. Zodra er weer shoon water in de waterbak zit, laat ik de goudvissen terugplonzen.Vader en moeder vinden het fijn met fris water te mandien. In de namiddag voor zonsondergang ga ik weer waterputten. Ook al doe ik dat, moeder kijkt altijd even stuurs. Met een stuurs gezicht steekt ze de olielampjes aan. Met een stuurs gezieht geeft ze ons onze portle rijst. Als ik later groot ben, vraag ik haar vast waarom ze toch altijd zo zuur is azijn, wat ik toch verkeerd doe en of ze het me uit wil leggen. Dan kan ik het beter proberen te doen. Maar ik ben pas dertien en nog klein. Ik verdien nog niets. Ik ben nog helemaat van mijn ouders afhankelijk. Dus moet ik wel doen wat zij zeggen. Ik doe heet erg mijn best voor hen. ‘s Middags na schooltijd hoed hoed ik met alle plezier jarbouwen, als niemand dat wil. Bij thuiskomst vul ik dan de waterbak, zodat vader en moeder kunnen baden. Ik protesteer met geen woord. Als ik maar mijn vaste rantsoen krijg. Een bord rijst helemaal tot de rand gevuld, met soep of sajoer lodeh, een stukje gebakken tempe en water uit de waterkruik. Water mag ik drinken zoveel ik wil.Mijn gedachten gaan aan de haal als ik een open spinneweb zie. Wat hebben die dieren zo’n net snel geweven. Met niets meer dan hun speeksel. De muggen die daarin terechtkomenkunnen geen kant meer uit. Ze worden allen nog maar uitgezogen. Hoor ik ook bij de zwakken die op een bepaald moment in het web en de dodelijke greep van zo’n spin belanden?Zover moet ik maar niet denken. Beter daar maar niet op door te gaan. Ik heb nog zo mijn eigen wereldje. Op het vee passen met mijn vriendjes. School, Schrijven, lezen. Of kastie spelen tegen een andere school. Daar kan ik me helemaal in uitleven. Heel hard rennen. Schreeywen, De bal heel ver weg slaan. Of zelf door de bal getroffen worden zodat ik onder de blauwe plekken kom te zitten. Maar dan kan me niet schelen. Een andere keer karbouwen baden in de rivier. ‘s Avonds val ik als een blok in slaap. ‘s Morgens ben ik dolblij dan het weer dag is. Water putten. Zonder ontbijt naar school. Bijna al mijn vriendjes hebben schoenen. Ik moet op blote voeten. Mijn bloes is ook maar zo zo. Zakgeld voor onderweg is er ook niet bij. Een heleboel van mijn vriendjes gaan op de fiets. Ik moet altijd lopen. Als ik bang ben dat ik te laat kom ren ik. Ja, rennen. Hoeveel keer per dag wel niet? Rennen. Altijd maar rennen. Het staalt mijn lichaam. En onegemerkt wordt ook mijn geest gescherp.Het allerleukste is het om bij de nachtwakers te slapen. Ze hebben een speciaal wachthuisje. Ze bewaken niet allen de huizen in het dorp, maar ook controleren ze de irrigatlekanaaltjes in de rijstvelden. Die worden namlijk door frijpgrave vingers nogal eens verstop of doorgestoken. Daar kunnen degrootste ruzies van komen. Door deze nachtclijke controle is er meer gatantie voor een eerlijke verdeling van het water. Precies om twallf uur ‘s nachts slaan ze op de tongtong. Daarna gaan ze slapen. Vaak krijgen ze van de loerah op hun kop omdat ze meer slapen dan waken. Zonder dat ze er iets van gemerkt heben, is de hele rijstschuur een keer leeggestolen. Dan is slapen bij de nachtwakers in het wachthuisje niet zo veilig. Het gebeurt ook wel dan een wachtpost door een bende wordt overvallen. Nadat ze de nachtwakers van kant hebben gemaakt, roven ze de hele dorpsschuur leeg of pikkenb andere waardevolle dinden. Dan kan ik maar beter gewoon thuis siapen.Wat slapen vader en moeder toch lekker. Op hun ben en hunmatras. En nog lekker warm ook. En heel verschil met mij. Ik heb het vaak koud. Vooral in de regentijd. Allerlei insekten komen uit hun hol te voorschijn en brengen mijn tikar een bezoek. Geen wonder dat ik wel eens door een duizendpoot of een schorpioen words gebeten. Daat kan ik echt niets aan doen.Ik ben ook wel eens ‘s nachts met vriendjes stiekem het huis uit geslopen. In de tijd van de suikerrietoogst. Het is dan bij de suikerlabriek Rodjoeagoeng altijd heel druk. Van de vroege morgen tot de late avond glijden de lorries af en aan uit de loods en komen langs ons dorps. Een schitterend gezieht, vooral ‘s avonds. Een klein vuur flakkert in de pijp omhoog naar de donkere hemel zonder maan. Knerpend rijden de wagons beladen met rietstengels voorbij. He schuren ban ijzer op ijzer geeft een zeer doordringend geluid en roept een deel ban de inwoners van Krokeh bijeen. Daar staan ze langs de rails. En de machinist maat fluiten. Net of de mensen geen stap opzij willen. De kinderen kijken met grote ogen en de groete mensen zetten nog grotere ogen op, tot zelfs oudjes. Allemaal zijn ze tuk op suikerriet.De bewakers slaan met stokken iedereen terug die naar boven probeert te klimmen. Als ze de voorste mensen weggejaagd hebben, moeten ze achteraan opnieuw beginnen. En omgekeerd. En paar zitten er al boven op een lorrie en gooeien hele bossen suikerriet naar beneden. Ook van opzij plukken de mensen er razendsnel bossen tussenuit. Die lange rij lorriers voortgetrokken door een kleine locomotief is net een overver moide slang. Met wonden over haar hele lijf. Na de bocht gaat het bergafwaarts richting Rodjoagoeng. De stoomfluit kreunt van pijn. Mijn vriendjes en ik en mer ons heel wat inwoners va Krokeh zijn helemaal door het dolle heen. Hoeveel bossen suikerriet hebben we niet te pakken gekregen! Op zo’n moment gil ik het uit van plezier en gleren we van de lach. Ik schil een rietstengel en zuig het sap eruit. Een uitstekend middel tegen de dorst. Mijn leven krijgt de vrije teugel, al is het maar even.Een van de volgende avonden geberurt er iers dat ik nooit van mijn leven zal vergeten. Ik was met een stel vriendjes, Soeparlan, Koesni, Djawar, Djijo en Lamidi de sawa’s ingegaan om groene kikkers te vange. We hadden vier fakkels bij ons van papajataken. Ik had er ook een. Dan geert veel licht. Ik liep aehteraan. In bocht van een sadijkeje voelde ik opeens iets in mijn been bijten. Eerst lette ik er niet op. Maar na een tijdje kreeg ik er last van. Het lopen viel me opeens heel zwaaar. Ik kreeg hoofdpijn en had het opeens koud. Ik vertelde het aan mijn vriendjes en ik vroeg of ze wilden teruggaan. Dan deden ze. Ze brachten me naar het huis van Koesni, want dat was het dichtste bij. Van verre riecp hij al: ‘Mam...Mam...’Een al wat oudere vrouw kwam de achterdeur uit.‘Wat is er, Koes?’‘Kijk eens naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’‘Kijk ecns naar Wadji, mam. Hij voelt zich niet lekker.’Boe Pin rolde de mouwen van haat kabaja wat op. Ze keek me onderzoekend aan. Haar handen berastten mijn been.‘Doet het hier pijn?’ vroeg me toen.‘Ja, Boe Pin.’ Zei ik.‘Dat klopt,’ zei ze weer. ‘ Het voelt warm aan en het is helemaal opgezet. Je bent door een slang gebeten.’Mijn ogen werden groot van schrik.‘Wat voor slang, Boe Pin?’ vroeg Lamidi.‘Vast een vergiftige, een witbuikslang, denk ik,’ zei ze, ‘Haal de agaat eens uit de kamer, Koes, Kalm maat, Wadji, Niet bang zijn.’De stem van Boe Pin klonk behecrst. Maar mijn ogen werden steeds groter. Ik was doodsbcnauwd. Een witbuikslang is erg vergiftig. Dat weet bijna iedereen. Dat die slang mij zo maar kon bijten! Ik had het gevoel alsof die slang met zijn helelijf bij mij naar binnen was geglipt. Door dat open wondje. En vandaar naar mijn kuit, mijn knie, mijn dij, mijn lies en mijn zij. Nu kronkelde hij door mijn buik. Nog even en hij was bij mijn borst. Dan zou hij zijn bek wijd opensperren en mijn hart verslinden.Ik was helemaat in paniek. Ik was nog zo jong. Pas dertien. Zou ik maar kort te leven hebben? En dat terwijl ik juist heel lang wilde leven, verre reizen wilde maken. Wist moeder het al? En had iemand vader die nachtdienst had op de fabrick al gewaarschuwd? Ze waren niet mijn echte vader en moeder. Want toen ik een baby van zch maanden was, hadden ze mij geadopteerd. Mijn echte ouders hadden namalijk altij herrie en waren uit elkaar gegaan. Het schijnt dat mijn echte vader altijd andere vrouwen had. Mijn echte moeder kon daar niet meer tegen en kwijnde weg. Ze verdiende allen wat geld met de verkoop ban koekjes en petjel. Toen kwamen mijn pleegouders en die hebben me grootgebracht. Mijn tweede vader is opzichter. Hij gant elke dag naar de suitkerfabriek van Rodjoagoeng. Soms gaat hij met de lorries mee om het pas geblukte suikerriet op te halen. Wat gedraag ik me eigenlijk toch afschuwelijk. Want samen met mijn vriendjes probeer ik dat suikerriet crat te halen wanneer de lorries door de bocht bij het dorp gaan En mijn vader is altijd zo goed voor me gewecst. Ik ben blij dat hij mij als heeft aangenomen. Hij heeft me op school gedaan en hij geeft me alles wat ik nodig heb, hoe hard hij daarvoor ook moet plosteren. Ik weet dat vader vroeger van gokken hield. Dat is geen wonder. De meeste arbeiders in de fabriek gokken graag. En het is net alsof de directie hen daarin aanmoedigt. Misschien vinden die Hollandse directeuren het wel prachtig als hun werknemers aan het gokken slaan. Het maakt hen straatarm. Ze krijgen schulden. En dan hebben die Hollanders een makkie aan hen. Want voor een schijntje kunnen ze die mensen, onder wie mijn vader, dan afbeulen.Alhamdulillah’, vader is met gokken gestopt toen hij mij als kind had aanggenomen. Ik ben zijn enige hoop. Ik ben vaders toekomst. Daarom mocht ik ook naar school. Maar al gokt hij nier meer, hij heeft nog wel een hoop schulden. Daardoor kan mijn schoolgeld vaak nier op tijd worden betaald. En omdat ik op een particuliere shool zit, kan ik geen uitstel van betaling krijgen. Zodra er niet meer aan mih te verdienen valt, moet ik van schoool af. Zo ben ik heel vaak van school gestuurd. Een keer duurde het wel een jaar voordat ik weer naar school kon. Ik had niets anders te doen dan ‘s morgens en ‘s avonds de mandibakken vulten. Of karbouwen hoeden als iemand dat vroeg. Arme vader. Ik vroeg hem of ik maar nier als koeli op de fabriek zou gaan werken. Maar toen werd vader boos. Ik moest hoe dan ook geduld hebben. Ik wachtte. En inderdaad. Ik kon weer naar school.Moeder kan jammer genoeg niet mer gokken stoppen. Waarom, weet ik niet. Het zit haar schijnlijk in het bloed. Het is zo’n gewoonte dat ze er niet meer afkomt. Ze verliest vaak. Dan is ze niet te genieten. Tegen. Tegen iedereen vaart ze uit. Ook tegen mij. Om de kleinste kleinigheden zet een grote mond op. Als ik het maar bij haar kan uithouden.Ik voel me steeds zieker en ellendiger woeden. Het branderige gevoel komt hoger en hoger. Ik voel het al bij mijn borst. Dan komt Koesni binnen met de ring uit de kamer van Boe Pin. Een ring met een wit-grijze agaat. Boe Pin pakt de ring opgelucht aan. Dan legt ze de agaat op de plek waar ik gebeten ben. Daarna krijg ik een heel gek gevoel. Net of dat slangelijf uit mijn bevenbuik wordt weggetrokken. Steeds verde naar beneden. Van mijn maag naar mijn heup, naar mijn lies, mijn dij, mijn knie en zo door. Dat is het gif dat wordt weggezogen. Het komt weer naar buiten. Razend snel! En het schuimt. Het blijft op de plek van de wond zitten, Ook aan de agaat zit gif. Het ziet eruits als wit schuim. Mijn hoofdpijn is opens over. Iedereen die het heeft megemakt, staat versteld. He! He! Een pak van mijn hart. ***

Saturday, May 20, 2006










(Cerpen "Gairah torani" ini adalah salah satu dari 14 cerpen para penulis yang dimuat di dalam antologi "Aisyah di Balik Tirai Jendela" diterbitkan oleh Penerbit Bestari, Jakarta. Peluncurannya bertepatan dengan HUT ke 25 Himpunan Pengarang Indonesia "AKSARA" pada tanggal 2 Mei 2006 di Pds HB Jassin, TIM, Cikini Raya 73, Jakarta. Saya ucapkan selamat dan salut kepada Titie Said ketua pertama yang telah berdedikasi 10 tahun dan diteruskan kepada Titie WS penerusnya yang telah 15 tahun di "AKSARA". Pada kesempatan tersebut saya gembira sekali bertemu kembali dengan Hussein Umar pimpinan Pds HB Jassin sekarang, Gerson Poyk dan putrinya yang juga penulis, Yani, lalu Andi Wasis, Steve, Slamet Rahardjo Rais, Kurnia Effendi, Dyah Hadaning, Rayani Sri Widodo, Bambang Djoko Susilo, Nina Pane, Titis Basino, Martin Aleida, Sari Narulita, K. Usman, Yvone de Fretes, Lestari, Rahma, Meutia, Dewi, Rini, Oyon, Puji, Endo, Aan, Rita, Gendis cs dan banyak lagi lainnya termasuk penulis-penulis dari Palembang. Karena jauh, sayang Korie Layun Rampan yang di Kaltim tak sempat datang. Saya juga tidak bisa melupakan kawan-kawan yang telah meninggal antara lain Umar Nur Zain dan Elanda Rosi DS. Judul antologi "Aisyah di Balik Tirai Jendela" diambil dari cerpen Hamsad Rangkuti. Salam sejahtera kepada handai taulan yang telah ikut bantu penyelengaraan serta datang pada selamatan HUT ke 25 tersebut. Rahmat Ali, Jakarta 3 Mei 2006.)
Cerpen "Kena Jaring"
Kena Jaring Karya: RAHMAT ALI


Menit demi menit berlalu. Dan, aku tidak tahu apakah aku bisa sampai di kantor tepat pada waktunya. Sangat malu kalau ter­lambat. Padahal program seharian bakal penuh. Sudah berjanji mau menerima tamu. Tiga surat penting harus cepat-cepat di­kirimkan kepada Gubernur. Lalu aku harus menandatangani usul kenaikan pangkat anakbuahku. Habis itu menghadiri rapat bulanan dengan Kepala Personalia. Bertumpuk benar tugas­tugasku.Biarpun demikian aku masih belum bernasib baik. Toh fasilitas yang sedikit menyegarkan rupanya berlalu saja dari de­pan hidungku. Rumah dinas tidak dapat. Yang ada kontrakan di kampung. Apalagi mobil yang bernomor merah. Jemputan saja tidak. Jadi tiap hari aku menggunakan pengangkutan umum. Romantik dan dinamikanya berada di atas roda partikelir ini amat menarik bagiku.Ada dua rute perjalanan yang kutempuh tiap hari. Pertama dari Ragunan ke Kebayoran. Ini dekat. Yang membawaku adalah jenis mikrobis warna manggis. Biar sudah rongsokan cukup lin­cah juga. Dalam lima belas menit sampai di Kebayoran. Aku segera antri bis yang lebih besar. Inilah rute kedua. Blok M - Kota. Yang membawa adalah perusahaan bis SMS warna biru. Dari jenis Greyhound bikinan Amerika. Biarpun kencang tetapi lama juga. Memang jauh. Biasanya aku turun di Beos, depan stasiun kereta. Dari situ aku tinggal jalan sebentar ke kantor.Di daerah Kota memang bertumpuk kantor-kantor peme­rintah, bank-hank serta perusahaan-perusahaan besar. Kebanyak­an pegawainya tinggal di Jakarta Selatan. Tidak heran bis SMS dipenuhi mereka. Paling laris. Dalam beberapa detik sudah penuh. Biar jumlah bis ditambah tetapi penumpang-penumpang yang harus dimuat masih belum habis-habis juga. Termasuk aku yang belum bisa naik.Sekali pernah aku mengajak istriku ke kantor. Dengan bis yang padat itu. Sampai di rumah kembali dia jatuh sakit. Sejak itu kapok dan tidak mau ikut-ikut lagi. "Hati-hati, mas !" selalu pesannya tiap aku meninggalkan rumah. Memang ngeri. Tapi itulah hidup. Waktu pertama kali aku menggunakan bis, empat tahun yang lalu, kurasakan badanku seluruhnya remuk-remuk. Terpaksa kuurutkan. Minum jamu godogan saban pagi dan ma­lam menjelang tidur. Sekarang sudah kebal. Tidak sakit-sakit, tidak lekas masuk angin.Suara petugas DLLAJ melalui corong berkumandang : "Satu persatu, satu persatu!" Dan di pintu bis sang kondektur sibuk membagikan karcis. "Jangan tergesa-gesa, Bis saudara­-saudara masih banyak !"Suara petugas hanya berkumandang, dan orang-orang tidak penduli. Mereka lebih menonjol dengan sifat-sifat individunya. Dengan hasrat-hasrat dan nafsu-nafsunya. Begitulah mereka be­rebut. Agar menguasai tempat terlebih dulu."Satu persatu, satu persatu!" pengeras berdengung lagi. Dan bis penuhlah.Aku tidak mau menanggung resiko yang konyol. Seperti beberapa hari yang lalu, ketika terjadi kecelakaan. Seseorang sudah meloncat waktu bis belum berhenti. Padahal masih cepat­-cepatnya dari Kota. Dia meloncat dan salah injak. Terpeleset. Kakinya tergilas roda. Rupanya orang sudah lupa tragedi itu. "Tunggu sampai bis berhenti! Jangan tergesa-gesa!" Sekali lagi orang sudah lupa. Orang mulai melanggar lagi. Bahaya!"Hati-hati, mas," mengiang pula suara istriku. "Ya, ya, ya. Aku harus hati-hati."Sementara itu klakson-klakson berbagai bis dengan ber­macam-macam warna berkaok memasuki terminal Blok M, Ada pula bis yang selalu menggemakan lagu-lagu Melayu dengan irama dangdut, meriah. Tetapi yang paling menakutkan adalah kekasaran-kekasaran para sopir. Biar sudah di pelataran terminal belum juga memperlambat kekencangannya. Bis-bis itu hinggap seperti tawon. Berdengung dan memuntahkan penumpang-­penumpang dari Banteng, Grogol dan Kota. Lalu menjaring lagi: manusia-manusia yang sangat membutuhkan. Ke jurusan-jurusan yang mereka pilih.Menit-menit yang terbuang semakin bertambah. Jarum jam menatapku tajam-tajarn. Aku sudah sangat terlambat. Berabe. Tiba-tiba aku seperti habis keselomat api. Mendadak, ketika untuk ke sekian kalinya bis hinggap, aku segera ikut-ikut terle­bih dulu meloncat."Lega sekarang!" kata seorang laki-laki sekitar 35 tahun yang juga telah berhasil meloncat dan duduk bersebelahan de­uganku. Aku terpaksa memberikan senyum sedikit. Manusia kota memang aneh, Biar sudah lama sering ketemu tetapi tidak mau juga saling kenal nama masing-masing. Kami lalu saling berdiam. Lebih untung aku, pikirku. Dapat di samping jendela. Terbuka pemandangan di luar. Yang bukan saja indah. Lebih dari itu. Berkelap-kelip waktu malam. Menggeliat-geliat waktu kepanasan siang-siang. Menggigil waktu kehujanan. Dan sekarang kulihat Jakarta sedang cantik-cantiknya berdandan. Dan nanti kalau sudah kepanasan segera menggeliat-menggeliat. Bisa lumer akhirnya."Tarik'." kondektur belakang mengomando. Sopir pun se­gera tancap gas. Bis terbang. Sejak itu mulailah drama-jiwa­manusia di atas roda.Tidak jauh di depan kulihat beberapa penghadang memberi isarat. Bis direm. Penumpang-penumpang baru menyumbat pintu. Pada saat itulah seseorang menjerit dan aku menyaksikan seorang wanita hampir membentur kaca tetapi untung tangarmya cepat bertahan."Jangan dorong begitu, dong. Kek kasar benar sama wanita, Brengsek!""Kok marahnya sama saya. Lihat saja sendiri. Orang begini banyak mendesak dari pintu. Kalau nggak mau kesenggol jangan naik bis!"Wanita itu merah padam, sedang pemuda yang marah karena dituduh sembarangan makin berkacak pinggang,Kondektur depan menyeruak di antara para penumpang yang berdiri, "Ada yang belum dapat karcis?"Beberapa orang terpaksa mengecek karcis-karcisnya yang sudah disimpan di saku atau diselipkan di ban arloji. Suara kon­dektur meneruskan : "Jangan ada yang belum dapat karcis. Nanti kalau ada pemeriksaan kondektur juga yang disalahkan polsus. Bisa dipecat!"Dia balik ke pintu depan setelah orang-orang tidak ada yang menyahut. "Deplu, Deplu?"Tidak pula ada yang menyahut. "Langsung!"Sopir makin tancap gas. Angin menyerbit-nyerbit lewat jendela. Menyapu kepalaku yang berambut gandrong, Terdengar klakson yang beruntun. Di depan sebelah kiri ada helicak yang tidak mau minggir. Kondektur depan dan belakang tentu saja marah-marah."Bangsat, bosan hidup ya?"Dan kondektur belakang menambah makian : "Ngentot kebo, lu!" Sopir helicak blingsatan dan membanting tajam-tajam ke kiri.Para penumpang yang dengar menunjukkan wajah terkejut. Sebagian orang yang menyaksikan kelucuannya tertawa gelak­-gelak. Kondektur belakang dan depan yang habis memaki puas­nya bukan main."Kembali saya mana?" "Tadi uangnya berapa?" tanya kondektur."Seratus." "Kok saya belum pernah terima ratusan dari ibu." "Tadi, tadi? Yang kamu masukkan sendiri ke dalam ka­leng?" "Lain kali bawa uang yang pas, bu. Sekarang jadi repot kalau sudah di dalam." "Ya, tapi jangan berlagak pilon kalau tidak ditanya!" Karena yang dihadapi wanita kondektur itu tidak bilang apa-apa lagi. Penumpang yang turun hanya sedikit. Di halte Komdak tambah lebih sepuluh orang. Beberapa dengan karcis di tangan menerobos pintu belakang. Kondektur belakang memanjat jen­dela. Tangan kirinya segera menuding-nuding : "Geser lagi ke dalam, pak. Belakang masih kosong. Itu mas yang berbaju kotak-­kotak. Geser sedikit, mas. Ya, ya, begitu. Dengan hormat bergerak sedikit ke belakang. Kasihan mereka yang di tangga. Sebangsa dan setanah air, mas!"Pakai sebangsa dan setanah air segala. Hebat betul! "Geser ke mana lagi?" seorang laki-laki tua menggrundel. "Di atap bis 'ngkali," jawab orang sebelahnya."Sudah adu-pantat begini masih tambah terus."
"Duit. Sekali lagi duit." "Tolong geser sedikit, pak. Geser sedikit!" Memindahkan kaki saja sudah tidak bisa. Yang sudah enak-­enak duduk tidak akan ambil perduli. Biar wanita yang berdiri di samping tetap saja lelaki-lelaki yang duduk tidak bakal me­nawarkan jasanya. Jarak masih jauh dan orang perlu duduk. Mana mau berkorban? Kalau aku sendiri yang duduk di pinggir belum tentu berbuat lebih galan.Tidak selamanya aku mujur dapat tempat. Sering kalah cepat. Tahu-tahu sudah penuh semua. Mereka yang sudah duduk pada menunjukkan kemenangannya. Aku blingsatan, Pernah karena sesaknya aku tidak dapat tempat biar berdiri sekalipun. Aku hanya berpijak beberapa senti saja di tangga pintu. Separo tubuhku berkibar dihembus bayu.Hati manusiaku memprotes. Sungguh nikmat mereka yang duduk. Tenang. Tidak tegang memandang aspal-aspal keras yang tiap waktu siap menggores tubuhku. Gedung-gedung yang me­gah bersitegak sepanjang pinggir-pinggir Thamrin. Mungkin tahu nasibku di tangga bis. Matanya jeli memandangku. Iba, penuh kasih sayang dan juga penuh sinisme. Lampu setopan yang khusus memantulkan sinar kuning terus menerus memberikan peringatan kepada semua lalu-lintas agar lebih waspada. Lalu sirine mengaung-ngaung panjang. Tiga sepedamotor palisi mendahului di depan. Sudah itu sebuah sedan hitam dengan berben­dera meluncur sangat leluasa. Di belakangnya dibuntuti lagi pengawal bersenjata satu regu. Hidup sungguh nikmatnya. Se­mua mau. Aku juga mau suatu ketika bepergian dengan supir. Aku yang duduk di belakang menyedot cerutu sambil membaca. Sorga jalan raya!Lamunan fantastis. Aku harus tahu diri sebagai pegawai pemerintah yang tidak dapat fasilitas-fasilitas istimewa. Aku terima. Aku bangga dengan bis kota.Apalagi kalau sekali tempo tiba-tiba muncul gadis muda yang ayu. Seketika hilang itu bau-bau yang tengik. Yang tercium adalah wewangian dari bajunya yang tipis dan pendek. Kulitnya yang halus serta bibimya yang merekah basah, ditambah lagi dengan rambutnya panjang lepas-lepas dan menempel di dadaku. Dadaku ikut berderai dihembus romantika sekejap. Sayang si cantik lekas turun. Aku kembali menghirup bau-bau tengik dan penuh kekonyolan. Lebih keder lagi kalau orang lalu menginjak ujung sepatuku tanpa penyesalan. Sialnya, sialnya diriku. Per­nah sopir yang kuhadapi adalah yang sangat brutal. Dia selalu membelok tajam-tajam sampai oleng. Ngeremnya selalu dengan mendadak. Barisan penumpang yang berdiri, yang kebetulan se­dang tidak berpegangan, seketika pada roboh ke depan seperti batang pisang, Gila. Semua orang memaki. Tapi dia tidak bisa merobah cara menyopirnya. Karena pijakan gasnya tersendat­-sendat menimbulkan rasa mual bagi mereka yang jarang naik bis. Seorang perempuan yang berpakaian udik kulihat membongkokkan badan. Dia muntah. Seluruh makanan pagi berpindah ke lantai bis.Kalau sudah begini terserah sopir, deh. Dibawa ke mana saja mau. Asal tidak ditumbukan ke jembatan. Atau ditusuk­kan ke pagar pemisah jalan macam tahun yang lalu. Bis begitu mengebut hingga sukar dikendalikan. Dan menubruk pagar besi. Begitu kencangnya sampai bis tersebut menancap ke besi. Aku berdoa agar pagi ini tidak bernasib seperti sate ayam.Aku sampai kenal betul mana pegawai yang turun di Mer­deka mana yang Harmoni dan Gajah Mada. Bahkan sampai kepada copetnya aku tahu. Dia selalu berpakaian lebih parlente dari pegawai biasa macam aku. Orang tidak bakal mengira. Dan kalau dia sudah meloncat dari bis baru orang yang kehilangan jadi ribut mencari siapa malingnya. Tidak akan ketemu. Dan tasnya sudah teriris silet. Tentu saja aku tidak mau ikut campur. Aku tahu para pencopet selalu main pisau. Aku masih terlalu sayang kepada jiwaku. Toh juga sama-sama cari makan.Aku tersadar dari lamunanku ketika dari arah sopir ter­dengar orang teriak-teriak mengejutkan : "Kebakaran, kebakar­an l" Memang kulihat jelas asap mengepul. Orang tidak berpikir lagi dan berebutan cari selamat. Setelah terbebas di luar kujum­pai beberapa orang yang kepalanya benjol, orang yang tangannya bcrdarah lataran terjepit, lalu wajah-wajah wanita yang pucat dan gemetar."Kita ganti bis lain saja," kata seorang gadis."Ayok, aku sendiri ngeri deh."Penumpang berkurang separo. Lainnya menunggu perkem­bangan selanjutnya."Apa yang telah terjadi?" tanya seseorang.Aku termasuk penumpang yang sok ingin tahu. Aku pergi ke tempat sopir yang mulai dikerumuni."Karung sialan," teriak sopir akhirnya. "Siapa yang me­naruh karung di atas kabel aki? Ternyata goni ini yang terba­kar.""Buset! Buset!" kandektur-kandekturnya ikut mengumpat. Seorang penumpang menongol dan bertanya ke arah sopir, "Jalan lagi, bang?""Ayok!"Dan sisa penumpang yang masih cinta kepada SMS warna biru masuk lagi ke dalam. Bebas, leluasa dan tidak berdesak­desakan."Kota, Kota!" kondektur belakang dan depan berpromosi. Aku mengambil tempat dekat jendela. Biar sudah sangat terlambat aku tersenyum lega. O, bahagianya!

(Cerpen ini adalah pemenang kedua sayembara Kincir Emas 1975, dari buku "Dari Jodoh sampai Supiyah", penerbit Jambatan, Jakarta 1976).


IN HET NET GEVANGEN

/Rahmat Ali

Minuten gaam voorbij. Ik heb geen idee of ooir nog op tijd op kantoor kom. Bij de gedachte allen al voel ik me opdelaten. En dat terwijl mijn programma vandaag overvol is. Ik heb een afspraak mer een aantal mensen. Er moeten zo snel mogelijk drie belangrijke brieven naar de Goeverneur de deur uit. Ik moel een promotievoorste; voor paar van mijn personeelsleden ondertekenen. En dan moet ik de maandelijkse vergadering met de Chef Personeelszaken. Werkelijk heel wat dat ik doen moet. Maar ondangks alle verantwoordelijkheden die ik drang, ben ik bepaald nog niet in goeden doen. Alle faciliteiten die het leven wat aangenamer maken, gaan mijn neus kennelijk altijd voorbij. Vooe mij geen dienstwoning, maat een gewoon huurhui in de kampong. Laat staan een dienstauto een dienstauto kan er nict af. Dus moet ik iedere dag debruik maken van het openbaar vervoer. Maar door de romantiek en de dynamiek die ik daar tussen allerhandc ‘particuliere wielen’ tegenkom, ben ik bijzonder geboeid.Iedere dag leg ik twee vaste routes af. De cerste van Ragoenan* naar Kebajoran. Dat is maar een klein eindje. Op die rit word ik door een soort minibusje vervoerd, paars als de schil van manggistans Een oude ik in Kebajoran. Daar stap ik snel op een grotere bus over. Dit is de tweede route. Van Blik M naar het centrum, Kota. Die tocht neemt het vervoersbedrijf SMS voor zijn rekening met bluewe Grehoundbussen van Amerikaanse makelij. Hoe hard ze ook racen, jet duurt endeloos. Maar het is ook een heel eind. Meestal stap ik uit hij Beos voor het station. Vandaar hoef ik dan nog maar een klein stukje lopen.Inkota is het een opeenhoping van regeringsgebouwen, banken en grote bedrijven. En aangezien het meeste kantoorpersoneel in Zuid-Djakarta woont, is he niet verwonderlijk dan de SMS-bussen altijd stampvol zijn. In een paar tellen zijn ze afgeladen. En ook al arriveren er elk ogenblik nieuwe bussen, de stroom pascagiers endigt nooit. En daar behoor ik zelf ook toe want ik heb nog steeds geen plaats weten te bemachitigen.Ik heb mijn vrouw wet eens mee naar kanttor genomen, Met die stampvolle bus. Toen ze weer thuis was, werd ze prompt ziek. Sindsdien heeft ze de schrik te pallen en wil ze noot meer mee. ‘Voorzichtig, Mas,’ bindt ze me op het hart als ik van huis ga.En inderdaad, het is vreselijk. Maar zo is het leven,. Toen ik voor het cerst met de bus ging, nu vier jaar geleden, had ik na aflood he gevoel alsof mijn hele lichaam plat was geperst. Ik moest me wel laten masseren, en ‘s morgens en ‘s avonds voor het bed gaan kuidenthee drinken. Nu kan ik er tegen. Ik ben zelden ziek of verkouden.De stem van een of andere vervoersfunctionaris schalt via de microfoon: ‘Een voor een!’ De conducteur is in de deuropenig druk bezig kaartjes uit te delen, ‘Niet dringen alstublieft. Er komen na ons nog andere bussen.’De stem van de vervoersfunctionaris schalt voort zonder dat het tot de mensen doordringt. Die tonen zich zoals ze werkelijk ziin. Met al hun persoonlijke begerten en hartstochten leveren ze slag om maat het eerst een plaatsje te bemachtigen.‘Een voor een,’ schlat de microfon opnieuw. En vol is de bus.Ik heb geen zin onnodig risico te lopen. Zoals die man een paar dagen geleden die ban een rijdende bus sprong. En dat terwijl die in volle vaart uit Kota kwam. Hij gleed uit en kwam met zijn benen onder de wieten terecht. Kennelijk is men deze tragedie alweer vergeten.‘Niet dringen alstublieft! Wachten tot de bus stilstaat!’De mensen zijn alles alweer vergeten en maken weer dezelfde fout. Levensgevaarlijk! ‘ Voorzichtaig, Mas,’ klinkt de stem van mijn vrouw nog in mijn oren na.‘Iderdaad, ik moet voorzichtig zijn.’Ondertussen komen andere bussen in de meest schreeuwende keleuren luid claxonnerend het busstation van Blok M binnenrijden, daarbij soms ook nog Malesise liedjes met een opwinden dansritme via hun luidspreken ten gehore brengend. Maar het allerergste is het woeste rijden van chauffeurs. Ook al zijn ze op het terrien van het busstation, denk niet dat ze maar iets vaart minderen. Gonzend als bijen strijken de bussen neer om hun passagiers, afkomstig uit Banteng, Grogol en Kota uit te spuwen. Dan vissen ze een nieuwe lading mensen op die elkaart al staan te verdringen. En voeren hen in de riehting van hun keuze.Steeds meer minuten gaan door zinloos wachten verloren. Ik houd de wijzers van de klok scherp in de gaten. Ik ben veel en veel te laat. Wat een ellende. Plotseling voel ik me als door een vuur neerstrijk, ren ik vliegensvlug mee en weet voor de anderen op de treeplank te speringen.‘Wat een opluchting!’ zegt een man van een jaar of vijfendertig die ook met succes de sprong heeft gewaadd en nu naast me zit. Ik lach hem minzaam toe. Vreemde lui die stadsmensen! Ook al komen ze elkaar nog zo vaak tegen, elkaar bij naam en toenaam kennen willen ze niet. We zwijgen nu beiden. Ik heb meer geluk dan hij, denk ik. Ik zit lekker bij het raampje. Ik kan naar buiten kijken en van het uitzieht genieten. En dat is niet allen mooi. Meer dan dat. Bij avaond is Jakarta vol lichtjes. Overdag zinderend van de hitte. Bij regen ritlend van de kou. En nu zie ik hem in zijn mooiste tooi. Sraks puft hij weer van de warmte. Tot smeltens toe.‘Optrekken,’ commandeert de conducteur op het achterste gedeelte van de bus. Onmiddellijk geeft de chauffeur planggas. En weg vlegen we. En dan begint het innerlijk drama van demens die zich aan de wielen heeft toevertrouwd.Op straat niet ver voor me uit zie ik mensen een stopteken geven. Onze remmen gieren. Nieuwe passagiers doemen op in dedeuropening. Plotseling geeft iemand een gil en ik zie een vrouw keihard naar het raam schieten. Gelukkig weet ze zich nog met haar hende tegen te hoeden.‘Niet zo dringen. Kan je wel tegen vrouwen. Stuk onbeschoft!’‘Wel ja, geet mij de schuld maar. Kijk zelf nou eens hoeveel mensen er bij de deur binnendringen. Als je niet aangeraakt wilt worden, ga dan niet met de bus!’De vrouw ziet rood van woede, terwijl de jongeman gepikeerd een steeds grotere mond opzet.De voorste conducteur wringt zich tussen de staande passagiers door, ‘ Allemaal voorzien?’Noodgedwongen halen een paar passageier de kaartjes opnieuw te voorschijn, die ze al in hun zak of onder hun horlogenbandje hadden weggestopt. De stem van de conducteur de klos. Hij kan door de politie op staande voct worden ontslagen’Wanneer niemand antwoord geeft, gaat hij terug naar de ingang: ‘ Deplu, Deplu?’Niemand hoeft er uit bij het ministerie van Buitenlandse Zaken.‘Doorrijden.’De chauffeur geeft weer planggas. De wind waait door het raam en strijkt langs mijn half lange haar.Pltseling een doordringend getoeter. Links voor ons rijdt een heltjak, een tor ‘taxi’ omgebouwde bromfiets, die niet opzij wil. Dat wekt de woede van beide conducteurs.‘Rotzak, levensmoe?’En de ander er onmiddellijk overheen: ‘Karvouwescheet!’Van schrik gooit de chauffeur van de helitjak met een ruk het stuur om.De passagiers die het horen kijken elkaar geschokt aan. Een paar schieten in de lach. De conducteurs voelen zich na deze scheldpartij bijzonder voldaan.‘Krijg ik mijn geld nog terug?’‘Hoeveel heb u dan gegeven?’‘Honderd.’‘Ik heb helemaal geen honderd gehad, Boe,’Noe en of, daarnet! U hebt het zelf in uw trommel gedaan!’‘Volgende keer met gepast geld betalen, Boe. Di is veel te lastig.’‘U moet zich niet van de domme houden. U weet het drommels goed.’Omdat hij met een vrouw te maken heeft, hondt de conducteur, verder zijn mond.Er zijn maar weinig mensen die ultstappen. Bij de halte Komdak komen er weet meer dan tien bij. Een paar dringen met hun kaartje demonsratitief in de hand zelfs via uitgang naar binnen. De achterste condeuteuer klimt in het raam. Druk mer zijn linkerhand gebarend roept hij: ‘ Naar binnen dooor schuiven, mensen. Achterin is nog plaats. Jongeman in dat geblokte shirtje, opzij een beetje! Ja, goed zo! Wilt u allemaal naar achtern doorlopen! Denk aan de mensen op de trecplank. Een volk een vaderland, mensen.’Wel ja, een volk, een vaderland. Haal de hele grondwet er maar bij! Sterk, joor!‘Waar naartoe doorschuiven,’ bromst een oude man.‘Naar het dak zeker,’ antwoordt iemand naast hem.‘We staan al bil aan bil, en toch laden jullie er nog meer bij.’‘Poen, altijd weer poen!’‘Doorlopen alstublieft. Doorlopen!’Onmogelijk nog een poot te verzetten. Degenen die lekker zitten, stoeren zich nergens aan. Al staat er een vrouw in hun buurt, geen man die over opstaan piekert. De rit is nog ver en zitten doet een mens goed. En wie jeeft zin zich op te offeren? Ik zou niet veel galanter zijn als een zitplaatsje te bemachtigen. Vaak leg ik het tegen anderen af. Voordat ik er erg in heb, is alles al bezet. Degenen die wel zo gelukkig zijn, kijken me triomfantelijk aan. En ik voel me opgelaten. Een keer was het zo vol dat ik zelfs geen staanplaats meer vond. Allen een paar centimeter treeplang onder mijn voeten. De helft van mijn lichaam wapperde buiten in de wind.Als mens kwam mijn gemoed hier tegen in opstand. Die lui met een ziplaats kwamen er maar mooi af. Onbezwaard en doodbedaard zaten ze naar het asfalt te turen dat elk ogenblik mijn lichaam kon openscheuren. Misschien beseften de statige gebouwen aan weerskanten van Djalan Thamrin we, hoe beroerd ik er op de treeplang van die bus aan toe was. Hun grote ogen keken naar mij. Half ontroerd, half medelijdend mar ook cynisch.Specialegele knipperlichten manen het verkeer voortdurend tot meer voorzichtigheid. Dan loeien er opeens sirenes. Voorafgegaan door drie motoren van politie zoef een grote zwarte slee met vlaggetjes op de bumper voorbij, in zijn kiezog gevolgd door gewapende bodyguaards. Wat een luizeleventje. Zo wil iedereen het wel. Zo wil ik ook nog eens naar kantoor. Met een chauffeur, en ik een sigaar rokend en lezend op de achterbank. Een hemel op aarde voor iedere weggebruiker.Eee fantastisch idee, maar ik moet mijn plaats kennen. Ik ben maar een gewoon regeringsambtenaartje zonder speciale faciliteiten. Ik schik me in mijn lot. Ik ben er juist trots op dat ik gewoon met de bus ga.Vooral af en toe als er een mooi meisje meegaat. Dan zijn ook meteen alle vieze luehtjes verdwenen. Je ruikt allen nog de parfum die uit haar korte dunne jurkje opstigt. Ze heeft een mooie glanzende huid, halfgeopende vochtige lippen en lang loshangend haar dat langs mijn borst strijkt. Bij zo’n vleugje romantiek begint mijn hart opeens sneller te kloppen. Jammer dat zo’n schoonheid er altijd weer zo snel uiat moet. Dan komen al die vieze onberstemde luchtjes weer in mijn neus. Nog erger wordt het wanneer iemand heel hard op mijn tenen trapt, en dat nog wel zondere excuus te vragen. Wat een pech, wat een ontzettende pech. Soms heb ik een heel woeste chauffeur die op twee wielen door de bocht scheurt en zo onverwacht emt, dat de staande passagiers die zich goed fasthouden, als pisangstammen door aan het schelden. Maar zijn manier van rijdenkan zo iemand nu eenmaal nie veranderen. Door al dat ruwegas geven worden mensen die niet vaak met de bus gaan, gauwmisselijk. Zo zag ik een vrouw in dorpskleren zich voorever bukken en overgeven, Haar hele ontbijt verhuisde naar de bodem van de bus.In zo’n situatie ben je volslagen aan de buschauffeur overgeleverd. Waar je techtkomt doet er niet meer toe. Als de bus maar nier tegen een brugleuning botst of in de vangrails blijft steken zoals verleden jaar, toen een bestuurder door te hard rijden de macht oever izeren vangrails schoot dat hij als het ware op het ijzer werd vastgespietst. Ik bid dat ik deze dag niet als sate eindig.Ik ken de meeste ambtenaren in de bus en weet precies waar, ze uitstappen. Wie bij Merdeka, wie bij Harmoni, en wie bij Djalan Gadjah Mada. Zelfs de zakkenrollers ken ik, Die zien er altijd veel netter uit dan gewong kantoormensen zoals ik. Dat is minder verdacht. En als de boosdoener al lang van de bus is gesprongen, gaat het slachtoffer nog eens woedend naar de dader op zoek. Vergeefse moeite. Wel is zijn tas mer een scheermes opengesneden. Maar daar bemoei ik me niet mee. Zakkenrollers staan snel klaar met een mes. En mijn leven is me nog telief. Bovendien...allemaat moeten we aan de kost zien te komen...Ik schrik uit mijn mijmeringen ope wannerrt ik in de buurt van de chauffeur een geweldig gegil hoor: ‘Brand, brand!’En inderdaad zie ik een dikke rookwalm opstijgen. Zonder zich verder een ogenblik te bedenken zoekt iedereen zich trappend en duwend een veilig heenkomen. Eenmaal in de buitenlucht kom ik iedereen weer tegen, een paar onde de builen, anderen met bebloede handen omdat ze bekneld hebben gezeten. De vrouwen zien doodsbleek en staan nog op hun benen te trillen.‘Kom op, we nemen een andere bus,’ zegt een meisje. ‘Dit is me te eng.’De helft van de passagiers verdwijnt. De anderen wachten op de dingen die komen gaan.‘Wat is er eigenlijk precies aan de hand?’ vraag iemand. Ik behoor tot hen die er het fijne van willen weten, en du drom ik met de anderen om de bestuurder heen.‘Die ellendige zak!’ schreeuwt de chauffeur. ‘Wie legt er nou een jute zak op de accu. Dat gaat toch zeker in de fik!’‘Wat kaffeig! Wat een kafferstreek!’ kankeren ook de beide conducteurs.Een passagier vraagt de chauffeur: ‘Gaan we weer?’‘Kom op, we gaan weer.’ En het restantje passagiers dat de blauwe SMS-bus nog voor lief neemt, stapt weer in. De keer is er plaats te over en hoeven ze niet te dringen.‘Kota, Kota!’ roepen de conducteurs vol vuur. Ik ga maar bij het raampje zitten. Al been ik veel en veel te laar, van louter opluchting moet ik lachen. Het is allemaal wonderwel afgelopen!





(Cerpen ini selain diterjemahkan di dalam bahasa Belanda juga dalam bahasa Indonesia dibacakan dan dipiringhitamkan oleh Radio Hilversum, Nederland, terikut pula cerpen-cerpen lainnya yang memenangkan sayembara Kincir Emas 1975.)

MATA BLORONG
Rahmat Ali
SARPAN sedang dihinggapi penyakit ingin cepat kaya: Padahal kondisi sebenarnya sangat berlawanan. Inilah payahnya."Repot suamimu, Minah," kata mentuanya. "Dia mulai ber­gaya pula. Hampir semua persoalan dikatakan beres. Malasnya makin menjadi jadi. Baru mau bangun kalau matahari sudah di tengah langit. Matanya merah geragapan. Memandang sepele mereka yang cari rumput. Mahunya apa? Setahun yang lalu dia kupuji. Tidak malu cangkul-cangkul di sawah lurah. Tiga anak­anakmu ditugaskan pula, mengembala selusin kambing dan dua kerbau. Lurah kita orang baik. Dia menghargai Sarpan yang rajin. Harusnya anak-anakmu tidak terlibat sekeras itu. Tetapi benar juga. Daripada main-main. Tidak menghasilkan apa-apa. Lumayan hasilnya untuk sangu lebaran mereka. Banyak faedahnya meng­awasi beberapa binatang ternak itu di padarig rumput dekat hutan sana itu. Dan sekarang, beberapa bulan kemudian, kenapa tiba-tiba terbalik. Sarpan jadi kelihatan dungu. Linglung. Tidak pedulian. Seperti tidak sedar kalau punya tanggungan keluarga. Kamu di­biarkan menghadapi tungku yang tidak pernah bernyala. Lalu anak­anakmu diumbar sampai sore di sungai. Hanya main-main melulu kerja mereka. Kerbau dan kambing-kambing lurah dibengkalaikan. Yang punya kelam kabut. Kamu yang kena damprat orang. Padahal tidak tahu apa-apa. Gara-gara Si Sarpan. Ke mana suamimu, Minah? Sudah seminggu tidak pulang-pulang. Berasmu habis. Tunggakan di warung menompok. Tidak terbayar-bayar. Hairan aku melihat kelakuan menantu yang begini. Apa jawapan, Minah?"Apa yang dikatakan bapaknya benar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Minah tidak bisa menjawab. Tidak baik. Via harus tetap menghormati bapaknya. Dia tumpuannya. Pagi tadi Minah dan anaknya meninggalkan rumah Klayatan. Lalu bergabung kembali ke tempat orang tua. Malu. Dan sebenarnya tidak tega merepotkan. Dia sudah tua. Sudah capek memelihara anak. Kahwin ertinya pisah dengan orang tua. Bererti Minah harus sudah pandai mandiri. Hanya kenyataannya lain."Sudahlah, kang," pernah menyarankan suaminya Sarpan, "kita hidup ala kadarnya saja. Bukankah sudah punya anak. Mereka harta kita yang amat mahal. Nanti lama-lama kita juga bisa lebih senang."Tetapi tidak demikian dengan jalan fikiran Sarpan. Dia lain daripada yang lain. Biar hidup di desa dia berfikiran jauh. Itulah sebabnya mentua Sarpan sering menuduhnya suka ngelantur. Ber­khayal yang tidak-tidak. Asal bukan untuk alasan yang dibuat-buat saja. Biar dikira sableng. Padahal sebenarnya sekadar menutup­nutupi kalau dia kahwin lagi. Biasa kehidupan lelaki di desa. Kalau sudah bosan kepada isteri lalu bertingkah aneh-aneh.Apa ya, fikir mentuanya.Nyatanya tidak. Mentuanya geleng-geleng. Minah makin sedih. Sedangkan Sarpan tetap tidak kunjung pulang. Sehari, seminggu, sebulan. Tidak nongol juga.Sementara itu Sarpan di tempat yang lain sedang menghadapi kecamuk. Sebagai lelaki dia ingin dipandang lebih. Oleh siapa pun. Terutama di depan mentuanya yang duda itu. Orang tua ini baik. Dia sayang kepadanya. Tetapi Sarpan tidak mahu sekadar disayang­sayang mentua. Itu tandanya kalau dia lelaki lemah. Padahal Sarpan tidak mahu dianggap lemah. Dia ingin bisa memberi pakaian yang layak kepada anak-anak dan isterinya. Ingin membuatkan rumah yang kukuh clan gede. Ingin lain-lainnya lagi."Tidak usah dulu, kang," Sarpan sering ingat kata-kata isteri­nya. "Kita orang hidup di desa sudah diketahui ukurannya. Pondok bambu atap lalang ini sudah lumayan untuk kita bersama anak­anak. Sabar sedikit, kang. Pokoknya sampeyan tresno kepadaku.""Ya, ya, Minah. Aku tresno padamu."Sarpan senyum sendiri. Itu masa-masa bahagia yang sederhana, waktu Sarpan hanya berduaan dengan Minah di rumah nginap di rumah kakeknya. Kesempatan bagi Sarpan dan Minah saling mengudar rasa. Mengungkapkan keinginan-keinginan. Atau untuk selamanya menyumbat mancurnya hasrat-hasrat, kerana sudah tidak mungkin jadi kenyataan.Bosan rasanya memikirkan nasib yang tak kunjung berubah. Toh renungan muncul di sebarang tempat di sebarang waktu. Kapan mujur dan jadi kaya? He, he, he. Betapa senang dijuluki sebagai orang yang serba kecukupan. Rumah gede. Lombong penuh. Ker­bau setiap tahun bertambah. Kambing dan ayam tak terhitung lagi. Seberapa pun wang dibutuhkan bisa bergemerincing dengan mulus. Mengalir tak berkeputusan. Para tetangga dan kenalan-kenalan pasti lebih sering berkunjung. Omong-omong sambil menikmati teh nasgitel. Dicampuri nyamikan ubi, jagung atau pisang rebus. Atau siang hari dia tidak lupa melambai mereka yang lewat depan rumah. Begitu tamu duduk Sarpan bisa langsung' teriak kepada Minah di dapur. Untuk cepat-cepat angkat nasi dan menghidangkannya di atas tikar berserta lauk-pauknya yang lengkap. Jangan lupa lalapannya, Minah. Sambal dengan air degan. Amboi, betapa sedap. Ah. Begitu kira-kira harapan Sarpan. Terhormat. Dipuji-puji, disegani. Tetapi mengapa sekarang tetap sebagai Sarpan yang dulu­dulu juga. Petani miskin. Isterinya membantu sebagai penumbuk padi di rumah lurah. Bahu sudah begitu capek menumbukkan alu ke dalam lumpang. Upah hanya tiga tempurung beras. Tidak seimbang. Tidak tahan hidup terus-menerus begitu keras. Aku harus mening­galkan keluargaku, demi kebahagiaan mereka, keputusan Sarpan. Dia lalu menghilang. Tanpa pamit. Berbulan-bulan tidak memberi khabar.Tahu-tahu Sarpan sudah di atas trak barang. Kerja sebagai kenek pembantu yang belum ngerti apa-apa. Dengan cepat belajar bagaimana harus gantikan oli, ngisi air radiator dan memasang atau nyopot kabel aki. Rupanya tidak begitu sukar. Waktu hujan dia harus buru-buru mendirikan tenda terpal di atas bak truk. Ke­ringatnya bercucuran. Rupanya lebih berat dari macul. Tetapi enak juga setelah terlaksana. Beras, gula atau terigu yang berkarung­karung aman dari titisan hujan. Sarpan sendiri nyenyak tidur di bawah tenda trak itu. Hangat. Kota-kota pantai di Jawa Timur makin sering dijelajahnya satu demi satu. Kemudian giliran Jawa Tengah. Kesempatan berikutnya Jawa Barat. Senang sekali.Dengan sang sopir trak yang dilayaninya tiap hari Sarpan sering ngobrol. Hampir tentang segala masalah. Tentang berbagai lapangan pekerjaan. Tentang guru yang kurang mendapat perhatian, gaji sering lambat dibayar, murid-murid yang kurang ajar dan tidakterkendali. Lebih enak jadi pedagang kelontong. Bikin warung di depan rumah. Harga-harga naik pedagang ikut naik. Tidak bakalan rugi."Itu hanya pandangan orang saja," jawab sopir menanggapi perkiraan Sarpan, bahawa jadi pedagang lebih enak dari guru, bahawa sopir lebih enak dari kenek. "Masing-masing punya tang­gungjawab, Kang Sarpan. Aku nyopir punya beban berat sekali. Harus bisa mengirimkan barang-barang pesanan sampai di tempat tujuan. Padahal di jalanan banyak sekali rintangan. Pada setiap pos tidak boleh diam. Selalu bayar, kang. Biar tidak begitu besar tetapi puluhan kali. Sudah berapa? Belum lagi kalau ban meletus, mesin mogok, atau macet kerana tabrakan antara kenderaan satu dengan lainnya. Ya, pokoknya menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Mahu apa sekarang? Jadi guru sudah diketahui umum bagaimana nasib mereka. Dan aku jadi sopir, umum sudah lebih tahu. Sudahlah, kang. Omong lain saja dah."Sopir ini biar masih muda tetapi lebih banyak pengalamannya, fikir Sarpan. Berkat kerjanya tiap hari yang menglanglang dari kota ke kota. Juga lantaran pergaulannya dengan banyak orang. Cuba dulu-dulu Sarpan jadi kenek, barangkali sudah jauh berlainan hidupnya. Obrolan lalu pindah ke bidang lain. Yang banyak sangkutannya dengan nasib, peruntungan, hari-hari baik dan sebaliknya. Serta perempuan.Tiba-tiba sang sopir tertawa ngakak. "Memang hari-hari baik kita, peruntungan dan kekayaan kita, banyak dipengaruhi perem­puan. Benar, kang. Makanya untuk sementara aku belum mahu kahwin. Payah. Menimbulkan banyak fikiran. Aku sekarang ingin bebas dulu. Sepuas-puasnya. Soal perempuan bisa dicari, kalau sekadar pemuas. Kakang lihat sendiri antara Surabaya sampai Rembang. Berderet. Belum lagi kalau trak kita meluncur di jalan lebar menuju Cirebon, terus menggelinding ke arah Jakarta. Bagaimanapun sama saja, kang. Maaf. Itu rahsia lelaki. Ha, ha, ha, ha."Sarpan terdiam. Dia ingat isterinya di rumah. Hanya sepintas. Ingat anak-anak dan mentua. Juga hanya sepintas. Kemudian mencuba hanyut lagi dalam obrolan. Sementara itu mesin tetap menderum. Sekali-kali klakson melengking."Kang Sarpan, sudahlah. Tidak usah pusing-pusing mikir. Apa adanya saja. Sehari dapat dan habis dimakan sudah lumayan. Kalau mbah-mbah kita dulu mungkin lain. Mereka banyak percaya kepada hal-hal yang tidak nyata. Tetapi kerana yakin betul akhirnya jadi kenyataan juga. Seperti nunggu telur Nyi Blorong. Bersemadi di pinggir Laut Kidul. Toh hasil juga. Bukankah hal begitu tidak masuk nalar? Zaman sekarang tidak mungkin, kang. Ya dari kerja keras kita menabung sedikit-sedikit. Beli cincin, beli kalung untuk perempuan di rumah. Lain kali beli berikutnya. Begitu cara menompok harta. Atau dijual setelah beberapa hari dibeli."Sarpan tetap Sarpan. Tidak lama kemudian penyakit lamanya kambuh. Malas-malasan. Teledor tidak isi air radiator. Oli mesin kecampur sabun. Sopir marah besar. Sarpan akhirnya minta diting­gal di Jakarta saja. Tinggal di Priok. Hidup sebagai pengurnpul kaleng-kaleng bekas dan besi-besi tua. Tiap hari keliling kampung. Masuk halaman-halaman rumah orang. Belakangan dia pindah di Depok. Ikut orang pegawai Pea Cukai yang wangnya banyak. Sarpan diangkat sebagai tukang kebun. Tanah yang luas dipacul sendirian oleh Sarpan. Biasa baginya, seperti di desa Klayatan dulu. Kalau kerjaan selesai di perintahkan ke kota cari bibit tanaman serta pupuk-pupuk yang diperlukan. Sarpan mulai berkenalan dengan kereta Jabotabek. Selalu periuh. Segala lapisan masyarakat tumplek di dalam gerbung. Pada berdiri semua di dalam ruangan yang sangat pengap. Tangan-tangan mereka tergantung. Mereka semua menyandarkan nasib pada kereta Jabotabek. Wajah-wajah yang tegang itu sudah tidak asing ditatap Sarpan. Waktu pintu tersorong otomatis kaki-kaki mereka segera, berlompatan keluar. Sementara itu yang mahu masuk juga bergegas mendorong ke dalam. Saling tidak mahu mengalah. Setelah di dalam gerbung para penumpang yang baru pada repot cari gantungan tangan.Kehidupan keras semua, fikir Sarpan makin yakin. Di mana ada laut yang ganas di Jakarta, fikirnya kemudian, masih di dalam kereta. Ancol. Ya, Ancol, jawabnya sendiri. Majikannya memberi Sarpan sangu banyak untuk beli bibit clan pupuk. Kesempatan Sarpan tidak mahu pulang ke Depok. Dia ingin beli karcis masuk Ancol. Dia segera turun di Kota. Ikut oplet jurusan Priok. Berhenti di hujung Gunung Sahari. Di situ dia mulai jalan. Hanya sebentar. Lalu tiba di depan loket. Dia jalan lagi. Mampir di Pasar Seni beberapa jam. Lihat seniman-seniman membuat gambar di atas kulit kambing. Mengagumi mereka yang mencukil-cukil kayu sawo. Mereka dapat duit lumayan dari pekerjaan itu. Tanpa susah-susah naik Jabotabek. Tanpa terdesak-desak. Mereka kerja di tempat yang terbuka. Enak begitu. Ah, nasib mereka lebih baik, fikir Sarpan.Dengan wang majikannya yang lumayan Sarpan memasuki restoran yang lapang dan segar. Dipesannya lauk-lauk yang lazat. Juga bir. Malamnya kebetulan ada tontonan. Di tengah pasar, Sarpan menikmatinya di tengah para pengunjung lainnya yang berjubel. Dan tengah malam dia sulah di pinggir pantai. Dia menolak gangguan-gangguan cewek yang sudah berkali-kali datang. Malam itu dia ingin memahami Laut Ancol lebih akrab. Dia lihat kelap-ke­lip kapal di kejauhan di tengah laut. Mengapa tidak turun hujan lebat dan laut Teluk Jakarta tidak mengamuk dengan ganas? Sayang. Andai kata lautnya ganas seperti yang di Pelabuhan Ratu. Hanya angin sepoi yang melandanya. Memberinya sedikit dingin yang tidak bererti."Aku datang lantaran panggilanmu, Nyai Blorong," kata Sar­pan pelan-pelan. ,"Aku sudah bersenang-senang. Sekarang aku mau bersusah­susah. Aku ingin membersihkan diri. Lantaran ingin menemuimu, Nyai Blorong. Menemuimu di Pantai Ancol ini. Aku yakin biar ombak di sini tidak besar, tetapi kamu ada. Segera timbul dari te­ngah laut. Lalu memberiku nasihat-nasihat. Agar aku bisa pulang kampung dengan nama baik. Ah, kukira kau tetap nyai yang baik. Tiap hari matamu mengikuti perjalananku. Matamu terus mengin­tai. Tanda yang baik bagiku. Maka pada kesempatan ini aku ke tepi laut. Agar bertemu mata dengan mata. Mata Sarpan dengan mata Nyai Blorong."Seketika cewek-cewek menjauh mendengar ucapan Sarpan. Orang bisa jadi macam-macam setelah masuk Ancol, fikir si cewek. Lebih baik cari lelaki yang hanya mahu menghamburkan wang dan berasyik-asyik. Daripada melayani mereka yang sinting­sinting. Bukan hanya sekali dua kali orang lalu senewen di pinggir laut. Pernah ada yang ketemu Mariam si penjaga jambatan Ancol. Pernah juga seorang insinyur jadi sebleng. Dan sekarang giliran lelaki yang bicara sendirian itu. Baikan kabur ke tempat lain. Sarpan tidak peduli kepada gunjingan cewek. Tidak ambil pu­sing. Dia meneruskan bicaranya."Kamu mahu apa, Pan? Kaya, terkenal, dihormati, disanjung­sanjung dengan harta yang bertompok-tompok tanpa korupsi? Ba­gus, bagus. Tidak sukar yang harus kamu kerjakan. Asal mahu.""Jelas aku mau, Nyai Blorong. Mau, mau. Aku sudah me­nunggu-nunggu petua darimu. Terima kasih, terima kasih." Sebenarnya Sarpan hanya mendengar angin yang sepoi. Lampu kapal tetap kelap-kelip di kejauhan. Tertawa cewek-cewek malam sekali-kali mengejek di balik pohon-pohon kelapa."Aku senang mendengar tertawamu yang meriah itu, Nyai Blorong. Katakan apa yang harus kukerjakan. Sekarang juga aku sudah siap melaksanakan perintahmu.""Ya, ya, ya. Aku katakan. Begini. Kamu kumpulkan batu-batu putih dan bakar di tungkumu di rumah Klayatan sana. Bagi setiap nyala yang besar kamu segera mendapat setompok emas. Bisa kamu tukar dengan barang apa saja yang jadi keinginanmu. Tetapi hanya selama tujuh tahun. Setelah itu kamu jadi milikku. Mengerti, Sarpan?""Mengerti, Nyai Blorong. Aku mengerti.""Nah, pulanglah. Temui anak-anak clan isterimu. Kemudian kerjakan sendirian di tempat yang sunyi. Tidak boleh seorang pun tahu."Sarpan seperti sadar. Dia tertawa sendirian. Dia lihat Ancol sudah sepi sekali. Restoran-restoran pada tutup. Kerusi-kerusinya sudah terbalik. Dia menyeringai keluar. Tukang-tukang sapu menoleh kepadanya dengan perasaan agak hairan dan aneh. Sarpan tidak juga peduli. Benarkah dia sudah bicara dengan Nyai Blorong? Menurut orang-orang tua ceritanya menyeramkan. Kalau sudah memperlihatkan diri bererti orang tersebut sudah mendekat ajalnya sendiri. Sarpan jadi takut. Mengumpulkan batu-batu putih tidak lain mencopoti tulang belulang anak-anaknya. Untuk dibakar biar tungku menyala lebih besar. Wah, wah. Celaka. Celaka. Tidak mau. Setelah tujuh tahun jadi milik Nyai Blorong. Tidak mau. Sarpan bagaimanapun tidak bersedia diperbudak oleh siapa Saja. Untung sadar dan cepat-cepat meninggalkan Pantai Ancol. Pantai itu menimbulkan fikiran yang tidak-tidak. Serba ngaco.Sarpan lebih sedar lagi. Sudah tujuh tahun dia mengembara, tidak pernah pulang. Mungkin Nyai Blorong yang dibayangkannya semalam tidak lain Kala, dewa waktu di Jakarta. Dia menagih Sarpan, tidak seyogianya hidup di Jakarta secara santai-santai. Tiap orang harus punya pegangan tetap sebagai apa saja. Sopir juga pekerjaan mulai di samping kenek. Juga sebagai tukang kebun di rumah pegawai Bea Cukai di Depok itu. Tetapi Sarpan sudah mem­bawa lari wangnya untuk foya-foya di pantai Ancol. Bagaimana? Ah, Sarpan bingung. Tidak punya pendirian harus apa. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke kampung. Klayatan di sana tanah kelahirannya. Di sana dia mulai tumbuh jadi manusia, dapat isteri dan anak-anak. Apa yang dicari lebih dari hidup sehari-hari yang biasa-biasa saja. Sudah dibuktikan ke Surabaya, ke Semarang, Cirebon atau Jakarta juga tidak punya perbedaan. Malah lebih re­koso. Lebih keras. Penuh risiko. Bisa-bisa sableng, sinting, urakan dan gila. Sarpan tidak mau. Atau mungkin itu sudah merupakan hukuman dari Nyai Blorong, yang matanya selalu mengintai dan menggoda iman manusia. Yang mempermainkan mimpi-mimpi Sarpan selama ini? Ya, Sarpan tidak merasakan. Tidak sedar lan­taran hipnotis mata Blorong itu sendiri? Benarkah sudah sejauh itu jiwa dan fikiranku terpengaruh, tanya Sarpan kurang yakin.Yakin atau tidak sudah jadi kenyataan. Sedar atau tidak Sarpan sudah mengembara jauh, melupakan anak-anak, menjauhi isteri yang tidak tahu apa-apa, membikin gelisah mentua, menjauhkan jarak hubungan desa dengan dirinya'yang di kota. Apakah keisti­mewaan Jakarta sehingga dia tertarik, tersedot, terpental, dan hidup sendirian tanpa tujuan?Sarpan lalu didera oleh petualangannya sendiri. Dia menangis. Dia dipermainkan mimpi yang disihirkan dari mata Blorong. Dia melihat tulang-tulang kaki anak-anaknya dipotong-potong. Lalu dijadikan kayu-kayu pembakar tungku kehidupan Sarpan yang tidak menentu. Bah: Dosanya. Dosanya melebihi Gunung Semeru. Maafkan aku, Minah. Ampuni suamimu.Kala telah berubah jadi Siwa. Wajahnya menyeringai menatap marah terhadap Sarpan. Ketakutanlah dia. Bersembunyi balik bantal. Berteriak-teriak di dalam rumah kontrakan dari kardus di pinggir Ciliwung. Pulang, Sarpan. Lebih baik pulang ke Klayatan. Anak isterimu serta mentuamu masih mau menerima kedatangan­mu.. Daripada kamu jadi sampah tong-tong Jakarta. Kereta Jabotabek bukan tempatmu menyandarkan nasib. Kaleng-kaleng dan besi tua bisa melibatkan dirimu ke dalam pencurian dan pemalsuan besar. Pulang saja, Sarpan. Pulang masih jauh lebih mulia daripada mengais-ngais di Jakarta.Gelaplah dunia di dalam rumah kontrakan Sarpan yang dari kardus di tepi Ciliwung itu, ketika Siwa telah berubah kembali jadi Kala. Lalu kembali lagi menjelma mata Blorong. Menyeringai mendelik. Mengedip-ngedipkan kegenitan. Kemudian seperti am­bles, bolong tanpa biji mata. Blorong jadi jerangkung. Berwujud kerangka tanpa daging. Menari-nari, berputar-putar di sekeliling Sarpan.Sarpan tidak tahan. Dia p-ulang dengan bis. Kenapa aku jadi gila? Kalau dulu tidak pergi-pergi sudah lumayan hidupku di desa. Di Jakarta penuh Blorong. Mereka berwujud kawan-kawan yang jadi majikan, jadi bos, jadi cukong. Jadi tauke, bahkan koruptor­koruptor. Mereka bisa memperbudak diriku. Mereka bisa meme­rintahku jadi penipu. Dan Sarpan yang lupa bisa kaya sendiri, hidup dari tulang-tulang bangsanya."Minah, Minah," teriak Sarpan setiba di rumah. Isterinya ke­hairanan. Dia sudah tampak reyot, tua, kurang makan, penyakitan. Anak-anaknya juga kurus. Kurang gizi. Mentua sudah setahun meninggal. Tetapi tidak apa, fikirnya. Dia kembali untuk memben­tuk hal-hal baru, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lama. Sarpan tersenyum.Horison(Cerita Pendek ini dimuat di “Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir” diselenggaran oleh Suratman Markasan. Di terbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kermenterian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur 1991)