CERPEN

Monday, February 11, 2008



Inilah cerpen saya yang muncul pada awal tahun 2008:



Satu

Mangki adalah nama panggilan untuk monyet yang kini menjalankan perintah-perintah pemiaranya di kereta listrik jurusan Depok-Jakarta. Sebagai anaksemang tentu saja dia sudah hafal tugas rutin. Dengan diiring tabuhan gendang dan ecrek-ecrek yang dihentak-hendak kaki pemiara sekaligus induksemangnya itu dia membawa pikulan kecil di atas kedua pundaknya. Saat kereta bergerak gemuruh, di antara deretan bangku-bangku panjang penuh penumpang yang duduk dan yang tidak kebagian tempat hingga mau tidak mau terpaksa berdiri berdempet-dempet amat menyesakkan itu, toh Mangki dicarikan tempat agak lapang oleh pemiara sekaligus induksemangnya untuk mempertunjukkan kebolehan.
“Kapan aku istirahat,” kata Mangki dalam hati. “Dari saat kereta di setasiun Bogor mulai meluncur ke Jakarta mengangkut para penumpang manusia kemudian bolak-balik berbelas kali aku masih terus bekerja. Oh, aku ingin merdeka suatu hari. Tinggal tunggu waktunya saja. Aku yakin.”
Namun bagaimana Mangki bercita-cita menjadi mahluk merdeka kalau lehernya diikat tali kuat-kuat? Induksemangnya sudah sangat dikenal sebagai manusia sadis tidak memiliki perikebinatangan. Enak saja si manusia satu yang dekil bersandal jepit itu demikian lokek. Tiap hari dia menadahkan tangan pakai kantong blaco yang kumuh. Ke dalamnya beberapa penumpang yang sedikit tersentuh menaburkan sedencing logam. Ya, sedikitnya limaratus perak. Jika dikumpul-kumpul kan jadi banyak lama-lama. Mengapa Mangki hanya diberi sepotong tahu goreng yang tidak utuh lagi karena sisa gigitan sang pemiara alias induksemangnya. Mangki tidak bisa protes. Hanya menyeringai dengan mempertunjukkan gigi-giginya yang berjejer-jejer. Induksemang menafsirkan Mangki tertawa penuh terimakasih. Padahal dia amat sedih dan terhina derajatnya.

Dua
Mangki masih ingat masalalunya. Ketika masih di hutan sekitar lereng gunung Salak. Dia anak bungsu dari delapan bersaudara. Tahu-tahu terdengar tembakan senapan cis yang nyaring. Emaknya mendadak berteriak mengaduh kemudian terjatuh dari cabang pohon ke bumi di bawah. Anak-anak tidak tahu apa yang harus diperbuat kecuali meloncat liar ke ranting-ranting pohon yang lain. Sialnya Mangki yang baru usia sembilan bulan terlalu lamban. Malah terpeleset dan jatuh, untungnya ke semak. Saat itulah kakinya ditangkap oleh tangan manusia yang perkasa. Mangki meronta. Menggigit. Mencakar. Penangkapnya jauh lebih perkasa. Gigitan dan cakaran tidak berarti apa-apa bagi pemburunya. Dia menggunakan sarung kulit yang tebal di tangannya.
“Jangan berani-berani liar padaku ya! Kugulai nanti kamu, monyet cilik!”
Mangki dijual ke pasar Bogor. Dibeli induksemangnya. Dialah yang sabar dan tekun “mendidik” Mangki menjadi mahluk “santun”. Agar aman tidak lari, rantai kecil dililit ke ojadi calon pemain komidi monyet tunggal, Mangki makin mengerti kehidupan manusia, khususon pemiaranya. Mangki bisa menangkap maksud bahasa induksemangnya namun dia sendiri tidak pandai mengekspresikan. Hanya berbunyi “kik, kik, kik” saja.

Tiga
Di kereta listrik Bogor-Jakarta Mangki makin mendalami fungsi kuda besi yang bukan saja sarana angkutan manusia dari satu tempat ke lainnya, juga amat banyak yang secara langsung menggunakannya sebagai ladang pencaharian. Mangki si komedi monyet tunggal berarti menghadapi saingan-saingan lumayan banyaknya. Gendang dan ecrek--ecrek yang selalu mengiring selama pertunjukan bawa pikulan dengan berlari terseok-seok, saat meluncur pakai otopet kayu beroda kayu, saat bersalto dan lain-lainnya— diganggu teriakan penjaja minuman botol berbagai merk dagang lengkap gelas kosong plus es batu. Semuanya diangkut pakai dorongan. Saat mendorongnya sering diserempetkan ke kaki-kaki penumpang dengan cukup bilang “Permisi, permisi” beberapa kali. Seakan-akan dengan berkata begitu sahlah dia bergerak, membelah kerumunan para penumpang yang sudah begitu padat, seinci pun tak ada sela, toh berhasil juga penjaja minuman menembus barikade. Penjaja minuman bukan hanya satu dua orang. Ada belasan. Mereka main seruduk saja menyenggol kaki-kaki penumpang seperti tidak jadi masalah. Situasi yang tumpuk-menumpuk penumpang lelaki dan perempuan masih pula diganggu oleh para penjual mainan anak-anak, pemikul sekeranjang rambutan di salah satu setasiun, munculnya pengemis berbagai model seperti yang buta dituntun yang melek, yang cacat kaki hingga bergeraknya merangkak atau mengengsot. Ada pula yang berjalan sambil tiup klarinet rombeng fales. Toh kelompok anak-anak muda tidak mau kalah, atau tidak tahu diri tidak tahu malu, menengahi dengan mempertontonkan alat-alat musik semi lengkap mulai dari gitar, banyo, bas, akordeon, juga organ dan dram. Itu pertanda mereka tidak laku kerja di kantor-kantor. Atau dulunya drop-out fakultas karena agak kurang serius belajar. Akhirnya mengelompok dan mendirikan klub jrang-jreng-jrang-jreng. Pilihannya di gerbong demi gerbong kereta listrik. Demikianlah dari sekian macam pengemisan. Di dalam kepala Mangki merasa terheran-heran dan menyimpulkan betapa makin sulitnya hidup di dunia mahluk manusia!
Seberapa banyak uang recehan yang dimiliki para penderma?— pikir Mangki si pemeran komidi monyet tanpa diketahui induksemangnya. Apa ikhlas mereka memberi atau diam-diam mengumpat? Induksemang Mangki tidak perduli dengan yang dipikirkan anaksemangnya. Dia tetap menabuh gendang serta ecrek-ecreknya. Mangki seperti biasanya meluncur pakai otopet beroda kayu laju sekali dan toh dia telah menguasai saat berbelok. Menabrak sedikit ke kaki-kaki para penumpang juga tidak apa-apa. Mangki seperti telah dimaklumi dan bisa dimaafkan. Lalu induksemang menadahkan kantong hitam yang dekil, sama dekil dengan celana dan singlet pemiaranya.
Setelah seharian penuh menggelandang di dalam kereta listrik tanpa perduli para penumpang turun naik di setasiun-setasiun sepanjang jalur rel Bogor-Jakarta barulah induksemang dan Mangki beristirahat di pondok kontrakannya yang asal bisa dipakai baring beberapa jam saja. Sebelum itu Mangki diberi makan sisa-sisa dari nasi buangan warteg sebelah yang sudah jadi langganan pemiaranya. Bagi pemeran komidi monyet yang kampiun meluncur di atas otopet kayu beroda kayu itu sisa-sisa nasi warteg cukup enak dan gurih. Lagi pula sedang pas lapar-laparnya. Selama berkomedi di kereta listrik Mangki hanya berkesempatan makan, tegasnya sekedar mencicipi bungkus-bungkus robekan yang masih dilekati bekas roti, biskuit atau kadang-kadang hamburger, ada Mangki ya bekas gelas aqua yang telah tigaperempatnya diminum induksemang. Mangki dituntut lagi untuk cepat-cepat beratraksi dari gerbong yang paling belakang ke yang paling depan. Demi memburu persen recehan si pemeran komidi monyet harus ekstra super mengerahkan seluruh tenaga, sampai tidak jarang terjungkir-jungkir, membentur tiang bangku penumpang, bahkan saking kebeletnya kencing dan berak ya terpaksa di lantai gerbong juga dikeluarkan dari kemaluan dan lubang pantat. Toh belum sampai tuntas buang hajat kecil dan besar, rantai di leher Mangki sudah cepat-cepat ditarik keras oleh induksemang.

Dung-dung-dung…

Crek-crek-crek…

Mangki jadi perhatian beberapa penumpang yang dapat tempat duduk, juga dari mereka yang berdiri. Seorang penumpang perempuan yang duduk dan sempat menyaksikan adegan tersebut, yang kemudian menampak air kencing dan tahi monyet tercecer, segera membuang muka kea rah lain sambil menutup mulut pakai tisu.

Empat

Mangki menangis. Dia ingat waktu masih di hutan bersama emak dan saudara-saudaranya sesama mahluk monyet. Hutan merupakan dunia yang sorga bagi hewan pohon. Mangki waktu bayi sangat dimanja emaknya. Digendong. Lalu diajari melompat sedikit demi sedikit. Lama-lama tangkas. Bergelayutan di ranting-ranting. Memantul-mantul tidak sampai patah. Mengunyah pupus-pupus daun yang segar, terlebih habis diguyur hujan. Buah-buahan favorit juga berlimpah. Di hutan lereng gunung tidak bakal kehabisan makanan. Berluber-luber buah-buahan, tinggal petik dan makan sepuas-puas hati. Emaknya yang memberitahu dan mengajari anak-anaknya di saat kapan pohon jambu mendekati ranum, begitu juga pisang, nangka serta duku. Pokoknya berkecukupan pangan, tinggal petik kapan pun dan di mana pun di hutan. Hanya gara-gara pemburu emaknya mati tertembak. Saudara-saudaranya entah lari ke mana. Kehidupan tersulap jadi neraka dan Mangki pun menjelma jadi budak induksemang di kereta listrik Bogor-Jakarta. Tiap hari dia mendemonstrasikan bawa pikulan, naik otopet kayu beroda kayu, bercawat merah, gigi-giginya selalu menyeringai. Di dalam gerbong-gerbong kereta listrik bukan hutan lereng gunung tempat Mangki dengan emak dan saudara-saudaranya keluarga monyet dulu. Di kuda besi yang selalu berhenti di tiap setasiun ini Mangki menyaksikan dan merasakan persaingan hidup yang teramat kejam dan brutal di masyarakat mahluk manusia. Tidak jarang mereka saling memaki, mengumpat, bahkan berkelahi sampai melayangnya maut. Induksemang Mangki masih terus memukul gendang sambil tidak lupa mengecrek-ecrek pakai hentakan jari kaki. Kemudian berjalan ke deretan para penumpang sambil menyodorkan kantong blaco yang dekil seperti singlet dan celananya yang dekil pula. Sementara itu para penumpang yang sudah biasa menyaksikan merasa bosan. Mereka enggan menyedekahkan recehan!

Jakarta 5 Januari 2007.