CERPEN

Friday, October 26, 2007

SAPI
SI GEMBALA ISTRI

/ Rahmat Ali

I
Seperti anjing yang diikat tali pada lehernya Engkong Nur membawa sapinya ke rumah saya. Tetangga dekat saya itu kontan saja dengan polos bilang : “Duitin.” “Apanya diduitin?” tanya saya. “Sapi ini.” “Saya yang duitin?” “Ya.” “Nggak salah, Engkong?” “Kagak.” “Tidak, “Engkong. Tidak.” “Kenape?” “Belum waktunya.” “Sekarang ini waktu yang bagus.” “Pasti mahal sekali,” jawab saya. “Murah aja.” “Kagak punya duit.” “Duit kagak bunyi.” “Bener kagak punya.” “Berapa aja, duitin.” “Kagak.” “Ayolah.” “Bener kagak punya, Engkong.” “Boleh angsur, deh!”
Engkong Nur suka mendesak-desak. Terkadang malah setengah memaksa. Sudah saya katakan saya tidak punya duit. Gaji saya sangat pas-pasan. Tidak pernah ngobyek. Bukan koruptor. Disuruh bayar sapi pakai apa? Menggadaikan diri? Namun Engkong Nur tidak percaya. Dia menyerahkan tali sapinya ke saya begitu saja. Saya disuruh mencancang ke batang pohon. Saya kaget sekali. Kok begitu percaya saya mampu bayar walau dengan mengangsur? Andai saya macet tidak ngangsur sekian lama? “Kagak ngapa-ngapa,” jawabnya sambil-tertawa panjang.
Engkong Nur tidak mau menerima pengembalian sapinya. Saya makin bingung jadinya. Saya membawa kembali sang sapi ke rumah. Saya tambatkan ke batang pohon. Apa yang harus saya perbuat? “Gampang, Mas,” kata isteri saya. “Mamat bocah tetangga kita itu kan nganggur.” “Lalu?” “Suruh ngurus sapi.” “Apa mau?” “Jelas tidak menolak kalau diupah!” Pikiran isteri saya ternyata benar.

II
Sapi kami betina. Menurut Engkong Nur, seminggu sebelum “diserahkan” kepada saya telah dikawinkan lebih dulu. Tidak seperti manusia yang harus pakai lamaran kemudian dimeriahkan pesta serta dihadiri para undangan. Prosesi perkawinan sejoli sapi sederhana saja. Caranya (karena seumur-umur belum pernah tahu) sungguh unik. Engkong Nur menggiring sapinya ke rumah kenalannya yang memiliki sapi jantan. Di kandangnya dipertemukanlah kedua sapi yang berlainan kelamin tersebut. Untuk pemenuhan “hajat sex” yang cukup sekali itu saja Engkong Nur harus membayar sekian rupiah kepada kenalannya si pemilik “sapi pejantan”.
III
Sekali tempo Engkong Nur datang menengok bekas sapinya. Setelah diperiksa-periksa akhirnya dikatakan dengan penuh keyakinan bahwa sapi kami itu mulai hamil. “Benarkah itu Engkong?” tanya saya kurang percaya. “Tidak main-main, Engkong?” tanya isteri saya kurang percaya pula. “Kenapa saya musti bohong dan main-main?” Engkong Nur meneruskan: “Kalo sampai dia tidak bunting, kembalikan pada saya!”
Karena penjelasan yang pasti dari Engkong Nur tersebut isteri saya membelalakkan mata tanda kegirangan. Dia langsung membelai-belai perut sapi yang dipercaya telah bunting.

IV
Tanpa disangka saya mendapat tugas belajar. Isteri dan anak saya yang baru berumur empat bulan terpaksa saya tinggalkan di rumah sendirian. Saya pantang minta orangtua atau mertua menemani isteri dan anak. Kami berdua ditambah seorang anak masih kecil harus selalu siap mandiri, apa pun resikonya. Hanya sapi itulah penjaga rumah tiap harinya dengan Mamat pembersih kandang sekaligus pencari rumput. Jika malam turun suasana rumah kami di tengah kampung yang masih kosong belum berlampu listrik, sangatlah sepinya. Desas-desus mengatakan banyak maling. Bagaimana jika rumah yang saya tinggalkan disatroni maling? Ya kalau hanya curi barang, tidak apa-apalah. Tetapi kalau melukai bahkan sampai membunuh isteri bersama anak kecil baru berusia empat bulan? Bisakah mempertahankan diri? Berteriak sekeras-kerasnya pun tidak ada yang akan menolong karena letak rumah tetangga agak berjauahan. Untunglah ada sapi. Tulis isteri saya di dalam surat, sapi kami itu suka melenguh tengah malam. Dia berfungsi mirip hansip peronda malam. Satwa tersebut sangat peka situasi. Justru dia itulah yang sebenarnya berperan sebagai si gembala isteri berikut anak saya yang masih kecil. Dengan lenguhannya yang cukup keras maka orang-orang jahat akan ngacir dengan sendirinya. Hebat, hebat, puji saya di dalam balasan surat. Maka sediakan dia makanan sebaik-baiknya. Perbanyaklah rumput yang segar-segar. Carikan dedak yang berkualitas paling yahud. Jangan lupa air garam sebelanga. Juga sekali tempo gula tetes. Mudah-mudahan akan terus begitu kesiagaannya!
Lalu bagaimana Freddy sekarang? Apa dia masih terus menyebut-nyebut papa kok belum pulang-pulang. Pokoknya fotoku tunjukkan terus padanya. Jangan sampai Freddy jadi lupa punya papa yang sedang di negeri orang. Jangan pula sampai memanggilku “Oom” saat aku pulang nanti!

V
Dari surat-surat yang datang seminggu sekali saya bisa memantau situasi di rumah berikut sapi kami termasuk kegiatan Mamat sekalian. Setiap kubuka jendela sebangun dari tidur pagi-pagi, tulis isteri dalam suratnya, selalu kudengar sapi kita melenguh panjang. Seakan-akan satwa itu menyalam:
“Selamat Pagi, Bu.”
Maka langsung kubalas: “Selamat Pagi, Sapi.. .iiiiiiiiiiiiiiiii!” Besok paginya lagi lenguhnya lebih nyaring lagi: “Selamat Pagi, Bu. Selamat pagi, Freddy.” “Selamat Pagi, Sapi. . .iiiiiiiiiiiiiiiii!”
Freddy yang masih belum pandai bicara hanya tertawa-tawa kecil. Sapi kita memang makin menyenangkan, lanjut isteri saya di suratnya. Kalau malam dia tetap melenguh sebagai tanda kalau dia penjaga rumah yang setia dan selalu siap siaga. Perutnya, ya perutnya, tambah menggelembung. Kayaknya tidak lama lagi bakal beranak. Makanya Mamat kusuruh lebih berhati-hati mengurusnya. “Jangan kasih rumput kering. Cari rumput sesegar-segarnya,” perintahku ke Mamat saat pagi-pagi berangkat ke “bulak” yang merupakan lapangan berumput lebat. Dia pulang ke kandang dengan memikul rumput penuh-penuh di kedua keranjang. Kalau kulihat sapi kita agak malas-malas segera Mamat kusuruh memeriksa. Memang kerja sapi selalu bermalas-malas, duduk mendeprok di lantai tanah sambil terus memamah biak amat santainya. Tak bosan-bosan bawelku ke Mamat kalau sekali lagi sapi kita bermalas-malas. Jangan sampai sakit. Demi masa depan dan sapi kita juga. Aku juga ikut menyediakan air garam sebelanga untuk diminumkan. Makan dedaknya lebih bersemangat. Sekali-kali gula tetes kutambahkan pula untuk diminum agar badannya lebih kuat.

VI
Mas, kalau sapi kita sebentar lagi beranak, kita bakal punya dua. Berarti kita nanti betul-betul akan kaya, Mas. Tahun depan kita kirim ke sapi pejantan, lalu hamil dan tidak lama sesudah itu beranak lagi. Kalau tiap tahun beranak, nanti kita bisa punya sepuluh ekor. Apa kelak kita bikin “ranch” seperti di Amerika. Freddy kalau besar jadi koboinya di atas kuda. Boleh berpestol juga, kan? Jadi kalau ada penjahat datang dia bisa melawan dengan gigih. Wah, sangat lumayan. Untung besar kita ini, Mas!
Saya sempat berkhayal juga lantaran pengaruh surat isteri. Jangan berambisi terlalu tinggi sampai membikin peternakan besar seperti rach segala. Yang sederhana dulu, mulai dari kandang yang perlu diperbesar.
Galian saluran air kotor dari kandang perlu dilancarkan ke lubang yang dalam. Isteri juga kusuruh memerintahkan ke Mamat memupuk pohon-pohon sekeliling pagar batas pekarangan biar lebih subur. Surat balasan isteri menjelaskan situasi lebih lanjut. Berkat pupuk kotoran sapi maka buah rambutan, kecapi, kesah, belimbing, pisang, sukun dan kelapa begitu rimbunnya dan matang di pohon. Aku sudah amat kenyang makan buah-buahan dari pekarangan rumah sendiri. Akhirnya tukang buah berdatangan untuk memborong buah-buahan yang matang terutama rambutan, pisang dan sukun. Lumayanlah untuk tambahan beli susu bubuk anak kita Freddy.

VII
Surat isteri tiga bulan sebelum kepulangan saya dari mancanegara sungguh sangat mengejutkan. Dituliskan kalau Mamat pulang ke kampung asalnya di Ciamis. Alasan apa kepergiannya yang mendadak meninggalkan kewajiban di rumah mengurus sapi, tidak disebutkan oleh isteri saya. Di mancanegara saya ikut kelabakan. Andaikata jaraknya dekat saya bisa seketika naik bis. Tetapi bukankah amat jauh di seberang lautan. Harus pakai pesawat lagi seharian. Wah, tidak mungkin. Maka saya mengharapkan surat kilat berikutnya dari rumah.
Berita yang menyusul lebih dahsyat lagi. Sapi kami telah melahirkan. Tetapi nasibnya yang tidak ketulungan. Kasihan sekali. Saat itu tengah malam. Isteri dan anak saya sedang nyenyak tidur. Jadi perjuangan hidup mati sang sapi saat mau beranak tidak diketahui oleh mahluk mana pun. Apakah itu tetangga, isteri dan anak saya, termasuk semut, kumbang, cicak, tokek, bajing-bajing di pohon dan kucing pun tidak ada yang tahu sama sekali. Padahal sang sapi sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Keringat terperas habis-habisan. Darah pun tak terkira-kira menyembur. Andaikata yang sedang menghadapi masalah kelahiran itu manusia dan lokasinya di rumahsakit, pasti ributlah. Pasti pihak keluarga pasien menuntut rumahsakit. Pasti digembar-gemborkan ada malpraktek dan ketidakperdulian antar sesama manusia. Sedangkan di kandang sapi waktu itu jelas-jelas bukan rumahsakit. Tidak ada perawat. Tidak ada dokter. Jadi merana sekali sapi kami yang sendirian terus berjuang. Berjuang dalam kesia-siaan. Tetap tidak ada yang mengelus-elus perut atau memberi perangsang untuk cepat keluar wajar. Si bayi sapi sendiri jadi tidak mungkin mampu dengan mulus meluncur bersama ari-ari plus ketuban dari saluran seperti lumrahnya. Malam berlangsung dengan berat dan begitu lamanya. Sapi kami sangat menderita tanpa diketahui siapa-siapa. Tidak ada Mamat, apalagi Engkong Nur bekas pemilik awalnya sebelum kami.
Pagi harinya kebetulan saat matahari sudah agak tinggi isteri dan anak saya baru melek tidur. Saat membuka jendela tidak mendengar lenguhan “Selamat Pagi, Bu” seperti adatnya. Begitu isteri saya ke kandang dia menyaksikan keadaan bayi sapi sudah tersungsang. Tergantung-gantung di pinggiran rahim. Keluar tidak bisa, masuk lagi pun sulit. Induk sapi amat sangat lemahnya di lantai kandang. Dengan anak saya yang sudah berusia delapan bulan isteri berteriak-teriak melintas pekarangan yang belum terpagar ke rumah tetangga yang agak berjauhan lokasinya. “Tolong, tolong,” teriak isteri saya berulang-ulang. “Ada apa, ada apa?” “Sapi saya, sapi saya!”

VIII
Kok ndilalah Engkong Nur tidak ada di rumah. Dia ikut mengantar Mamat pulang ke Ciamis. Jadi para tetangga lainlah yang berdatangan. Setelah tahu keadaan yang sebenarnya emak-emak yang sudah berpengalaman segera menyingsingkan lengan baju masing-masing. Dengan hati-hati mereka mulai membetot bayi sapi untuk mudah-mudahan bisa keluar dari lubang rahim. Memang boleh dikata sudah amat terlambat. Bayi sapi tersebut kekurangan oksigen. Dia tidak bernafas lagi. Induk sapi pun ikut-ikut lemah, bahkan dalam sehari dua hari bisa-bisa mati. Maka daripada tidak mendapatkan apa-apa isteri saya disarankan untuk cepat-cepat menjualnya saja. “Berapa kira-kira harganya?” tanya isteri saya. “Ya murah tentunya daripada mati percuma,” jawab umumnya para emak yang baru menolong. Isteri saya mengikuti saran mereka. Semua barangkali gara-gara Mamat pulang ke kampung asal Ciamis. Juga gara-gara Engkong Nur ikut-ikut mengantar Mamat. Tidak ada yang mengerti urusan sapi. Ya, nasib. Ingin kaya dengan banyak sapi, tahu-tahunya bayi sapi tersungsang. Induknya terpaksa dijual murah daripada tidak mendapatkan apa-apa. Isteri saya tidak lagi mendengar: “Selamat Pagi, Bu”. Dan biasa dijawab isteri saya: “Selamat Pagi, Sapi.. .iiiiiiiiiii!”

IX
Saya amat terkesan bait-bait lagu Norma Sanger yang populer sekali dinyanyikan lewat radio pada tahun 1960-an. Walau saat itu belum ada televisi namun para pendengar bisa membayangkan bagaimana seorang gembala sapi alias koboi menggirng puluhan sapi di padang rumput luas dan baru pulang menjelang senja. Suara penyanyi bukan saja merdu namun juga meliuk-liuk yang sangat cocok dengan suasana pedesaan yang aman damai jauh dari kota besar. Syair lagu tersebut sebagai berikut:

Bila hari telah petang
Sapi pulang ke kandang
Aku turut dari belakang

Bila sudah tutup pintu kandang
Si gembala menyenangkan badan
Inilah kerjanya si gembala sapi
Apa yang kupikirkan lagi

O liyo liyo liyo
Liyo liyo liyo
Liyo liyo liyo, dst, dst.

Ya, semua tinggal kenangan. Tidak lagi ada sapi si penjaga sekaligus si gembala isteri waktu malam sepi dengan lenguh-lenguhnya. Juga tidak ada lagi Mamat si pencari rumput serta tukang memandikannya. Kami pun tidak bisa lagi mimpi sapi beranakpinak dan kami akan bisa menggembalakannya di padang rumput luas sebagaimana seorang koboi. Yang di dalam pikiran kami hanya khayal belaka!

Jakarta, 24 Maret 2005.