CERPEN

Saturday, May 20, 2006










(Cerpen "Gairah torani" ini adalah salah satu dari 14 cerpen para penulis yang dimuat di dalam antologi "Aisyah di Balik Tirai Jendela" diterbitkan oleh Penerbit Bestari, Jakarta. Peluncurannya bertepatan dengan HUT ke 25 Himpunan Pengarang Indonesia "AKSARA" pada tanggal 2 Mei 2006 di Pds HB Jassin, TIM, Cikini Raya 73, Jakarta. Saya ucapkan selamat dan salut kepada Titie Said ketua pertama yang telah berdedikasi 10 tahun dan diteruskan kepada Titie WS penerusnya yang telah 15 tahun di "AKSARA". Pada kesempatan tersebut saya gembira sekali bertemu kembali dengan Hussein Umar pimpinan Pds HB Jassin sekarang, Gerson Poyk dan putrinya yang juga penulis, Yani, lalu Andi Wasis, Steve, Slamet Rahardjo Rais, Kurnia Effendi, Dyah Hadaning, Rayani Sri Widodo, Bambang Djoko Susilo, Nina Pane, Titis Basino, Martin Aleida, Sari Narulita, K. Usman, Yvone de Fretes, Lestari, Rahma, Meutia, Dewi, Rini, Oyon, Puji, Endo, Aan, Rita, Gendis cs dan banyak lagi lainnya termasuk penulis-penulis dari Palembang. Karena jauh, sayang Korie Layun Rampan yang di Kaltim tak sempat datang. Saya juga tidak bisa melupakan kawan-kawan yang telah meninggal antara lain Umar Nur Zain dan Elanda Rosi DS. Judul antologi "Aisyah di Balik Tirai Jendela" diambil dari cerpen Hamsad Rangkuti. Salam sejahtera kepada handai taulan yang telah ikut bantu penyelengaraan serta datang pada selamatan HUT ke 25 tersebut. Rahmat Ali, Jakarta 3 Mei 2006.)
Cerpen "Kena Jaring"
Kena Jaring Karya: RAHMAT ALI


Menit demi menit berlalu. Dan, aku tidak tahu apakah aku bisa sampai di kantor tepat pada waktunya. Sangat malu kalau ter­lambat. Padahal program seharian bakal penuh. Sudah berjanji mau menerima tamu. Tiga surat penting harus cepat-cepat di­kirimkan kepada Gubernur. Lalu aku harus menandatangani usul kenaikan pangkat anakbuahku. Habis itu menghadiri rapat bulanan dengan Kepala Personalia. Bertumpuk benar tugas­tugasku.Biarpun demikian aku masih belum bernasib baik. Toh fasilitas yang sedikit menyegarkan rupanya berlalu saja dari de­pan hidungku. Rumah dinas tidak dapat. Yang ada kontrakan di kampung. Apalagi mobil yang bernomor merah. Jemputan saja tidak. Jadi tiap hari aku menggunakan pengangkutan umum. Romantik dan dinamikanya berada di atas roda partikelir ini amat menarik bagiku.Ada dua rute perjalanan yang kutempuh tiap hari. Pertama dari Ragunan ke Kebayoran. Ini dekat. Yang membawaku adalah jenis mikrobis warna manggis. Biar sudah rongsokan cukup lin­cah juga. Dalam lima belas menit sampai di Kebayoran. Aku segera antri bis yang lebih besar. Inilah rute kedua. Blok M - Kota. Yang membawa adalah perusahaan bis SMS warna biru. Dari jenis Greyhound bikinan Amerika. Biarpun kencang tetapi lama juga. Memang jauh. Biasanya aku turun di Beos, depan stasiun kereta. Dari situ aku tinggal jalan sebentar ke kantor.Di daerah Kota memang bertumpuk kantor-kantor peme­rintah, bank-hank serta perusahaan-perusahaan besar. Kebanyak­an pegawainya tinggal di Jakarta Selatan. Tidak heran bis SMS dipenuhi mereka. Paling laris. Dalam beberapa detik sudah penuh. Biar jumlah bis ditambah tetapi penumpang-penumpang yang harus dimuat masih belum habis-habis juga. Termasuk aku yang belum bisa naik.Sekali pernah aku mengajak istriku ke kantor. Dengan bis yang padat itu. Sampai di rumah kembali dia jatuh sakit. Sejak itu kapok dan tidak mau ikut-ikut lagi. "Hati-hati, mas !" selalu pesannya tiap aku meninggalkan rumah. Memang ngeri. Tapi itulah hidup. Waktu pertama kali aku menggunakan bis, empat tahun yang lalu, kurasakan badanku seluruhnya remuk-remuk. Terpaksa kuurutkan. Minum jamu godogan saban pagi dan ma­lam menjelang tidur. Sekarang sudah kebal. Tidak sakit-sakit, tidak lekas masuk angin.Suara petugas DLLAJ melalui corong berkumandang : "Satu persatu, satu persatu!" Dan di pintu bis sang kondektur sibuk membagikan karcis. "Jangan tergesa-gesa, Bis saudara­-saudara masih banyak !"Suara petugas hanya berkumandang, dan orang-orang tidak penduli. Mereka lebih menonjol dengan sifat-sifat individunya. Dengan hasrat-hasrat dan nafsu-nafsunya. Begitulah mereka be­rebut. Agar menguasai tempat terlebih dulu."Satu persatu, satu persatu!" pengeras berdengung lagi. Dan bis penuhlah.Aku tidak mau menanggung resiko yang konyol. Seperti beberapa hari yang lalu, ketika terjadi kecelakaan. Seseorang sudah meloncat waktu bis belum berhenti. Padahal masih cepat­-cepatnya dari Kota. Dia meloncat dan salah injak. Terpeleset. Kakinya tergilas roda. Rupanya orang sudah lupa tragedi itu. "Tunggu sampai bis berhenti! Jangan tergesa-gesa!" Sekali lagi orang sudah lupa. Orang mulai melanggar lagi. Bahaya!"Hati-hati, mas," mengiang pula suara istriku. "Ya, ya, ya. Aku harus hati-hati."Sementara itu klakson-klakson berbagai bis dengan ber­macam-macam warna berkaok memasuki terminal Blok M, Ada pula bis yang selalu menggemakan lagu-lagu Melayu dengan irama dangdut, meriah. Tetapi yang paling menakutkan adalah kekasaran-kekasaran para sopir. Biar sudah di pelataran terminal belum juga memperlambat kekencangannya. Bis-bis itu hinggap seperti tawon. Berdengung dan memuntahkan penumpang-­penumpang dari Banteng, Grogol dan Kota. Lalu menjaring lagi: manusia-manusia yang sangat membutuhkan. Ke jurusan-jurusan yang mereka pilih.Menit-menit yang terbuang semakin bertambah. Jarum jam menatapku tajam-tajarn. Aku sudah sangat terlambat. Berabe. Tiba-tiba aku seperti habis keselomat api. Mendadak, ketika untuk ke sekian kalinya bis hinggap, aku segera ikut-ikut terle­bih dulu meloncat."Lega sekarang!" kata seorang laki-laki sekitar 35 tahun yang juga telah berhasil meloncat dan duduk bersebelahan de­uganku. Aku terpaksa memberikan senyum sedikit. Manusia kota memang aneh, Biar sudah lama sering ketemu tetapi tidak mau juga saling kenal nama masing-masing. Kami lalu saling berdiam. Lebih untung aku, pikirku. Dapat di samping jendela. Terbuka pemandangan di luar. Yang bukan saja indah. Lebih dari itu. Berkelap-kelip waktu malam. Menggeliat-geliat waktu kepanasan siang-siang. Menggigil waktu kehujanan. Dan sekarang kulihat Jakarta sedang cantik-cantiknya berdandan. Dan nanti kalau sudah kepanasan segera menggeliat-menggeliat. Bisa lumer akhirnya."Tarik'." kondektur belakang mengomando. Sopir pun se­gera tancap gas. Bis terbang. Sejak itu mulailah drama-jiwa­manusia di atas roda.Tidak jauh di depan kulihat beberapa penghadang memberi isarat. Bis direm. Penumpang-penumpang baru menyumbat pintu. Pada saat itulah seseorang menjerit dan aku menyaksikan seorang wanita hampir membentur kaca tetapi untung tangarmya cepat bertahan."Jangan dorong begitu, dong. Kek kasar benar sama wanita, Brengsek!""Kok marahnya sama saya. Lihat saja sendiri. Orang begini banyak mendesak dari pintu. Kalau nggak mau kesenggol jangan naik bis!"Wanita itu merah padam, sedang pemuda yang marah karena dituduh sembarangan makin berkacak pinggang,Kondektur depan menyeruak di antara para penumpang yang berdiri, "Ada yang belum dapat karcis?"Beberapa orang terpaksa mengecek karcis-karcisnya yang sudah disimpan di saku atau diselipkan di ban arloji. Suara kon­dektur meneruskan : "Jangan ada yang belum dapat karcis. Nanti kalau ada pemeriksaan kondektur juga yang disalahkan polsus. Bisa dipecat!"Dia balik ke pintu depan setelah orang-orang tidak ada yang menyahut. "Deplu, Deplu?"Tidak pula ada yang menyahut. "Langsung!"Sopir makin tancap gas. Angin menyerbit-nyerbit lewat jendela. Menyapu kepalaku yang berambut gandrong, Terdengar klakson yang beruntun. Di depan sebelah kiri ada helicak yang tidak mau minggir. Kondektur depan dan belakang tentu saja marah-marah."Bangsat, bosan hidup ya?"Dan kondektur belakang menambah makian : "Ngentot kebo, lu!" Sopir helicak blingsatan dan membanting tajam-tajam ke kiri.Para penumpang yang dengar menunjukkan wajah terkejut. Sebagian orang yang menyaksikan kelucuannya tertawa gelak­-gelak. Kondektur belakang dan depan yang habis memaki puas­nya bukan main."Kembali saya mana?" "Tadi uangnya berapa?" tanya kondektur."Seratus." "Kok saya belum pernah terima ratusan dari ibu." "Tadi, tadi? Yang kamu masukkan sendiri ke dalam ka­leng?" "Lain kali bawa uang yang pas, bu. Sekarang jadi repot kalau sudah di dalam." "Ya, tapi jangan berlagak pilon kalau tidak ditanya!" Karena yang dihadapi wanita kondektur itu tidak bilang apa-apa lagi. Penumpang yang turun hanya sedikit. Di halte Komdak tambah lebih sepuluh orang. Beberapa dengan karcis di tangan menerobos pintu belakang. Kondektur belakang memanjat jen­dela. Tangan kirinya segera menuding-nuding : "Geser lagi ke dalam, pak. Belakang masih kosong. Itu mas yang berbaju kotak-­kotak. Geser sedikit, mas. Ya, ya, begitu. Dengan hormat bergerak sedikit ke belakang. Kasihan mereka yang di tangga. Sebangsa dan setanah air, mas!"Pakai sebangsa dan setanah air segala. Hebat betul! "Geser ke mana lagi?" seorang laki-laki tua menggrundel. "Di atap bis 'ngkali," jawab orang sebelahnya."Sudah adu-pantat begini masih tambah terus."
"Duit. Sekali lagi duit." "Tolong geser sedikit, pak. Geser sedikit!" Memindahkan kaki saja sudah tidak bisa. Yang sudah enak-­enak duduk tidak akan ambil perduli. Biar wanita yang berdiri di samping tetap saja lelaki-lelaki yang duduk tidak bakal me­nawarkan jasanya. Jarak masih jauh dan orang perlu duduk. Mana mau berkorban? Kalau aku sendiri yang duduk di pinggir belum tentu berbuat lebih galan.Tidak selamanya aku mujur dapat tempat. Sering kalah cepat. Tahu-tahu sudah penuh semua. Mereka yang sudah duduk pada menunjukkan kemenangannya. Aku blingsatan, Pernah karena sesaknya aku tidak dapat tempat biar berdiri sekalipun. Aku hanya berpijak beberapa senti saja di tangga pintu. Separo tubuhku berkibar dihembus bayu.Hati manusiaku memprotes. Sungguh nikmat mereka yang duduk. Tenang. Tidak tegang memandang aspal-aspal keras yang tiap waktu siap menggores tubuhku. Gedung-gedung yang me­gah bersitegak sepanjang pinggir-pinggir Thamrin. Mungkin tahu nasibku di tangga bis. Matanya jeli memandangku. Iba, penuh kasih sayang dan juga penuh sinisme. Lampu setopan yang khusus memantulkan sinar kuning terus menerus memberikan peringatan kepada semua lalu-lintas agar lebih waspada. Lalu sirine mengaung-ngaung panjang. Tiga sepedamotor palisi mendahului di depan. Sudah itu sebuah sedan hitam dengan berben­dera meluncur sangat leluasa. Di belakangnya dibuntuti lagi pengawal bersenjata satu regu. Hidup sungguh nikmatnya. Se­mua mau. Aku juga mau suatu ketika bepergian dengan supir. Aku yang duduk di belakang menyedot cerutu sambil membaca. Sorga jalan raya!Lamunan fantastis. Aku harus tahu diri sebagai pegawai pemerintah yang tidak dapat fasilitas-fasilitas istimewa. Aku terima. Aku bangga dengan bis kota.Apalagi kalau sekali tempo tiba-tiba muncul gadis muda yang ayu. Seketika hilang itu bau-bau yang tengik. Yang tercium adalah wewangian dari bajunya yang tipis dan pendek. Kulitnya yang halus serta bibimya yang merekah basah, ditambah lagi dengan rambutnya panjang lepas-lepas dan menempel di dadaku. Dadaku ikut berderai dihembus romantika sekejap. Sayang si cantik lekas turun. Aku kembali menghirup bau-bau tengik dan penuh kekonyolan. Lebih keder lagi kalau orang lalu menginjak ujung sepatuku tanpa penyesalan. Sialnya, sialnya diriku. Per­nah sopir yang kuhadapi adalah yang sangat brutal. Dia selalu membelok tajam-tajam sampai oleng. Ngeremnya selalu dengan mendadak. Barisan penumpang yang berdiri, yang kebetulan se­dang tidak berpegangan, seketika pada roboh ke depan seperti batang pisang, Gila. Semua orang memaki. Tapi dia tidak bisa merobah cara menyopirnya. Karena pijakan gasnya tersendat­-sendat menimbulkan rasa mual bagi mereka yang jarang naik bis. Seorang perempuan yang berpakaian udik kulihat membongkokkan badan. Dia muntah. Seluruh makanan pagi berpindah ke lantai bis.Kalau sudah begini terserah sopir, deh. Dibawa ke mana saja mau. Asal tidak ditumbukan ke jembatan. Atau ditusuk­kan ke pagar pemisah jalan macam tahun yang lalu. Bis begitu mengebut hingga sukar dikendalikan. Dan menubruk pagar besi. Begitu kencangnya sampai bis tersebut menancap ke besi. Aku berdoa agar pagi ini tidak bernasib seperti sate ayam.Aku sampai kenal betul mana pegawai yang turun di Mer­deka mana yang Harmoni dan Gajah Mada. Bahkan sampai kepada copetnya aku tahu. Dia selalu berpakaian lebih parlente dari pegawai biasa macam aku. Orang tidak bakal mengira. Dan kalau dia sudah meloncat dari bis baru orang yang kehilangan jadi ribut mencari siapa malingnya. Tidak akan ketemu. Dan tasnya sudah teriris silet. Tentu saja aku tidak mau ikut campur. Aku tahu para pencopet selalu main pisau. Aku masih terlalu sayang kepada jiwaku. Toh juga sama-sama cari makan.Aku tersadar dari lamunanku ketika dari arah sopir ter­dengar orang teriak-teriak mengejutkan : "Kebakaran, kebakar­an l" Memang kulihat jelas asap mengepul. Orang tidak berpikir lagi dan berebutan cari selamat. Setelah terbebas di luar kujum­pai beberapa orang yang kepalanya benjol, orang yang tangannya bcrdarah lataran terjepit, lalu wajah-wajah wanita yang pucat dan gemetar."Kita ganti bis lain saja," kata seorang gadis."Ayok, aku sendiri ngeri deh."Penumpang berkurang separo. Lainnya menunggu perkem­bangan selanjutnya."Apa yang telah terjadi?" tanya seseorang.Aku termasuk penumpang yang sok ingin tahu. Aku pergi ke tempat sopir yang mulai dikerumuni."Karung sialan," teriak sopir akhirnya. "Siapa yang me­naruh karung di atas kabel aki? Ternyata goni ini yang terba­kar.""Buset! Buset!" kandektur-kandekturnya ikut mengumpat. Seorang penumpang menongol dan bertanya ke arah sopir, "Jalan lagi, bang?""Ayok!"Dan sisa penumpang yang masih cinta kepada SMS warna biru masuk lagi ke dalam. Bebas, leluasa dan tidak berdesak­desakan."Kota, Kota!" kondektur belakang dan depan berpromosi. Aku mengambil tempat dekat jendela. Biar sudah sangat terlambat aku tersenyum lega. O, bahagianya!

(Cerpen ini adalah pemenang kedua sayembara Kincir Emas 1975, dari buku "Dari Jodoh sampai Supiyah", penerbit Jambatan, Jakarta 1976).


IN HET NET GEVANGEN

/Rahmat Ali

Minuten gaam voorbij. Ik heb geen idee of ooir nog op tijd op kantoor kom. Bij de gedachte allen al voel ik me opdelaten. En dat terwijl mijn programma vandaag overvol is. Ik heb een afspraak mer een aantal mensen. Er moeten zo snel mogelijk drie belangrijke brieven naar de Goeverneur de deur uit. Ik moel een promotievoorste; voor paar van mijn personeelsleden ondertekenen. En dan moet ik de maandelijkse vergadering met de Chef Personeelszaken. Werkelijk heel wat dat ik doen moet. Maar ondangks alle verantwoordelijkheden die ik drang, ben ik bepaald nog niet in goeden doen. Alle faciliteiten die het leven wat aangenamer maken, gaan mijn neus kennelijk altijd voorbij. Vooe mij geen dienstwoning, maat een gewoon huurhui in de kampong. Laat staan een dienstauto een dienstauto kan er nict af. Dus moet ik iedere dag debruik maken van het openbaar vervoer. Maar door de romantiek en de dynamiek die ik daar tussen allerhandc ‘particuliere wielen’ tegenkom, ben ik bijzonder geboeid.Iedere dag leg ik twee vaste routes af. De cerste van Ragoenan* naar Kebajoran. Dat is maar een klein eindje. Op die rit word ik door een soort minibusje vervoerd, paars als de schil van manggistans Een oude ik in Kebajoran. Daar stap ik snel op een grotere bus over. Dit is de tweede route. Van Blik M naar het centrum, Kota. Die tocht neemt het vervoersbedrijf SMS voor zijn rekening met bluewe Grehoundbussen van Amerikaanse makelij. Hoe hard ze ook racen, jet duurt endeloos. Maar het is ook een heel eind. Meestal stap ik uit hij Beos voor het station. Vandaar hoef ik dan nog maar een klein stukje lopen.Inkota is het een opeenhoping van regeringsgebouwen, banken en grote bedrijven. En aangezien het meeste kantoorpersoneel in Zuid-Djakarta woont, is he niet verwonderlijk dan de SMS-bussen altijd stampvol zijn. In een paar tellen zijn ze afgeladen. En ook al arriveren er elk ogenblik nieuwe bussen, de stroom pascagiers endigt nooit. En daar behoor ik zelf ook toe want ik heb nog steeds geen plaats weten te bemachitigen.Ik heb mijn vrouw wet eens mee naar kanttor genomen, Met die stampvolle bus. Toen ze weer thuis was, werd ze prompt ziek. Sindsdien heeft ze de schrik te pallen en wil ze noot meer mee. ‘Voorzichtig, Mas,’ bindt ze me op het hart als ik van huis ga.En inderdaad, het is vreselijk. Maar zo is het leven,. Toen ik voor het cerst met de bus ging, nu vier jaar geleden, had ik na aflood he gevoel alsof mijn hele lichaam plat was geperst. Ik moest me wel laten masseren, en ‘s morgens en ‘s avonds voor het bed gaan kuidenthee drinken. Nu kan ik er tegen. Ik ben zelden ziek of verkouden.De stem van een of andere vervoersfunctionaris schalt via de microfoon: ‘Een voor een!’ De conducteur is in de deuropenig druk bezig kaartjes uit te delen, ‘Niet dringen alstublieft. Er komen na ons nog andere bussen.’De stem van de vervoersfunctionaris schalt voort zonder dat het tot de mensen doordringt. Die tonen zich zoals ze werkelijk ziin. Met al hun persoonlijke begerten en hartstochten leveren ze slag om maat het eerst een plaatsje te bemachtigen.‘Een voor een,’ schlat de microfon opnieuw. En vol is de bus.Ik heb geen zin onnodig risico te lopen. Zoals die man een paar dagen geleden die ban een rijdende bus sprong. En dat terwijl die in volle vaart uit Kota kwam. Hij gleed uit en kwam met zijn benen onder de wieten terecht. Kennelijk is men deze tragedie alweer vergeten.‘Niet dringen alstublieft! Wachten tot de bus stilstaat!’De mensen zijn alles alweer vergeten en maken weer dezelfde fout. Levensgevaarlijk! ‘ Voorzichtaig, Mas,’ klinkt de stem van mijn vrouw nog in mijn oren na.‘Iderdaad, ik moet voorzichtig zijn.’Ondertussen komen andere bussen in de meest schreeuwende keleuren luid claxonnerend het busstation van Blok M binnenrijden, daarbij soms ook nog Malesise liedjes met een opwinden dansritme via hun luidspreken ten gehore brengend. Maar het allerergste is het woeste rijden van chauffeurs. Ook al zijn ze op het terrien van het busstation, denk niet dat ze maar iets vaart minderen. Gonzend als bijen strijken de bussen neer om hun passagiers, afkomstig uit Banteng, Grogol en Kota uit te spuwen. Dan vissen ze een nieuwe lading mensen op die elkaart al staan te verdringen. En voeren hen in de riehting van hun keuze.Steeds meer minuten gaan door zinloos wachten verloren. Ik houd de wijzers van de klok scherp in de gaten. Ik ben veel en veel te laat. Wat een ellende. Plotseling voel ik me als door een vuur neerstrijk, ren ik vliegensvlug mee en weet voor de anderen op de treeplank te speringen.‘Wat een opluchting!’ zegt een man van een jaar of vijfendertig die ook met succes de sprong heeft gewaadd en nu naast me zit. Ik lach hem minzaam toe. Vreemde lui die stadsmensen! Ook al komen ze elkaar nog zo vaak tegen, elkaar bij naam en toenaam kennen willen ze niet. We zwijgen nu beiden. Ik heb meer geluk dan hij, denk ik. Ik zit lekker bij het raampje. Ik kan naar buiten kijken en van het uitzieht genieten. En dat is niet allen mooi. Meer dan dat. Bij avaond is Jakarta vol lichtjes. Overdag zinderend van de hitte. Bij regen ritlend van de kou. En nu zie ik hem in zijn mooiste tooi. Sraks puft hij weer van de warmte. Tot smeltens toe.‘Optrekken,’ commandeert de conducteur op het achterste gedeelte van de bus. Onmiddellijk geeft de chauffeur planggas. En weg vlegen we. En dan begint het innerlijk drama van demens die zich aan de wielen heeft toevertrouwd.Op straat niet ver voor me uit zie ik mensen een stopteken geven. Onze remmen gieren. Nieuwe passagiers doemen op in dedeuropening. Plotseling geeft iemand een gil en ik zie een vrouw keihard naar het raam schieten. Gelukkig weet ze zich nog met haar hende tegen te hoeden.‘Niet zo dringen. Kan je wel tegen vrouwen. Stuk onbeschoft!’‘Wel ja, geet mij de schuld maar. Kijk zelf nou eens hoeveel mensen er bij de deur binnendringen. Als je niet aangeraakt wilt worden, ga dan niet met de bus!’De vrouw ziet rood van woede, terwijl de jongeman gepikeerd een steeds grotere mond opzet.De voorste conducteur wringt zich tussen de staande passagiers door, ‘ Allemaal voorzien?’Noodgedwongen halen een paar passageier de kaartjes opnieuw te voorschijn, die ze al in hun zak of onder hun horlogenbandje hadden weggestopt. De stem van de conducteur de klos. Hij kan door de politie op staande voct worden ontslagen’Wanneer niemand antwoord geeft, gaat hij terug naar de ingang: ‘ Deplu, Deplu?’Niemand hoeft er uit bij het ministerie van Buitenlandse Zaken.‘Doorrijden.’De chauffeur geeft weer planggas. De wind waait door het raam en strijkt langs mijn half lange haar.Pltseling een doordringend getoeter. Links voor ons rijdt een heltjak, een tor ‘taxi’ omgebouwde bromfiets, die niet opzij wil. Dat wekt de woede van beide conducteurs.‘Rotzak, levensmoe?’En de ander er onmiddellijk overheen: ‘Karvouwescheet!’Van schrik gooit de chauffeur van de helitjak met een ruk het stuur om.De passagiers die het horen kijken elkaar geschokt aan. Een paar schieten in de lach. De conducteurs voelen zich na deze scheldpartij bijzonder voldaan.‘Krijg ik mijn geld nog terug?’‘Hoeveel heb u dan gegeven?’‘Honderd.’‘Ik heb helemaal geen honderd gehad, Boe,’Noe en of, daarnet! U hebt het zelf in uw trommel gedaan!’‘Volgende keer met gepast geld betalen, Boe. Di is veel te lastig.’‘U moet zich niet van de domme houden. U weet het drommels goed.’Omdat hij met een vrouw te maken heeft, hondt de conducteur, verder zijn mond.Er zijn maar weinig mensen die ultstappen. Bij de halte Komdak komen er weet meer dan tien bij. Een paar dringen met hun kaartje demonsratitief in de hand zelfs via uitgang naar binnen. De achterste condeuteuer klimt in het raam. Druk mer zijn linkerhand gebarend roept hij: ‘ Naar binnen dooor schuiven, mensen. Achterin is nog plaats. Jongeman in dat geblokte shirtje, opzij een beetje! Ja, goed zo! Wilt u allemaal naar achtern doorlopen! Denk aan de mensen op de trecplank. Een volk een vaderland, mensen.’Wel ja, een volk, een vaderland. Haal de hele grondwet er maar bij! Sterk, joor!‘Waar naartoe doorschuiven,’ bromst een oude man.‘Naar het dak zeker,’ antwoordt iemand naast hem.‘We staan al bil aan bil, en toch laden jullie er nog meer bij.’‘Poen, altijd weer poen!’‘Doorlopen alstublieft. Doorlopen!’Onmogelijk nog een poot te verzetten. Degenen die lekker zitten, stoeren zich nergens aan. Al staat er een vrouw in hun buurt, geen man die over opstaan piekert. De rit is nog ver en zitten doet een mens goed. En wie jeeft zin zich op te offeren? Ik zou niet veel galanter zijn als een zitplaatsje te bemachtigen. Vaak leg ik het tegen anderen af. Voordat ik er erg in heb, is alles al bezet. Degenen die wel zo gelukkig zijn, kijken me triomfantelijk aan. En ik voel me opgelaten. Een keer was het zo vol dat ik zelfs geen staanplaats meer vond. Allen een paar centimeter treeplang onder mijn voeten. De helft van mijn lichaam wapperde buiten in de wind.Als mens kwam mijn gemoed hier tegen in opstand. Die lui met een ziplaats kwamen er maar mooi af. Onbezwaard en doodbedaard zaten ze naar het asfalt te turen dat elk ogenblik mijn lichaam kon openscheuren. Misschien beseften de statige gebouwen aan weerskanten van Djalan Thamrin we, hoe beroerd ik er op de treeplang van die bus aan toe was. Hun grote ogen keken naar mij. Half ontroerd, half medelijdend mar ook cynisch.Specialegele knipperlichten manen het verkeer voortdurend tot meer voorzichtigheid. Dan loeien er opeens sirenes. Voorafgegaan door drie motoren van politie zoef een grote zwarte slee met vlaggetjes op de bumper voorbij, in zijn kiezog gevolgd door gewapende bodyguaards. Wat een luizeleventje. Zo wil iedereen het wel. Zo wil ik ook nog eens naar kantoor. Met een chauffeur, en ik een sigaar rokend en lezend op de achterbank. Een hemel op aarde voor iedere weggebruiker.Eee fantastisch idee, maar ik moet mijn plaats kennen. Ik ben maar een gewoon regeringsambtenaartje zonder speciale faciliteiten. Ik schik me in mijn lot. Ik ben er juist trots op dat ik gewoon met de bus ga.Vooral af en toe als er een mooi meisje meegaat. Dan zijn ook meteen alle vieze luehtjes verdwenen. Je ruikt allen nog de parfum die uit haar korte dunne jurkje opstigt. Ze heeft een mooie glanzende huid, halfgeopende vochtige lippen en lang loshangend haar dat langs mijn borst strijkt. Bij zo’n vleugje romantiek begint mijn hart opeens sneller te kloppen. Jammer dat zo’n schoonheid er altijd weer zo snel uiat moet. Dan komen al die vieze onberstemde luchtjes weer in mijn neus. Nog erger wordt het wanneer iemand heel hard op mijn tenen trapt, en dat nog wel zondere excuus te vragen. Wat een pech, wat een ontzettende pech. Soms heb ik een heel woeste chauffeur die op twee wielen door de bocht scheurt en zo onverwacht emt, dat de staande passagiers die zich goed fasthouden, als pisangstammen door aan het schelden. Maar zijn manier van rijdenkan zo iemand nu eenmaal nie veranderen. Door al dat ruwegas geven worden mensen die niet vaak met de bus gaan, gauwmisselijk. Zo zag ik een vrouw in dorpskleren zich voorever bukken en overgeven, Haar hele ontbijt verhuisde naar de bodem van de bus.In zo’n situatie ben je volslagen aan de buschauffeur overgeleverd. Waar je techtkomt doet er niet meer toe. Als de bus maar nier tegen een brugleuning botst of in de vangrails blijft steken zoals verleden jaar, toen een bestuurder door te hard rijden de macht oever izeren vangrails schoot dat hij als het ware op het ijzer werd vastgespietst. Ik bid dat ik deze dag niet als sate eindig.Ik ken de meeste ambtenaren in de bus en weet precies waar, ze uitstappen. Wie bij Merdeka, wie bij Harmoni, en wie bij Djalan Gadjah Mada. Zelfs de zakkenrollers ken ik, Die zien er altijd veel netter uit dan gewong kantoormensen zoals ik. Dat is minder verdacht. En als de boosdoener al lang van de bus is gesprongen, gaat het slachtoffer nog eens woedend naar de dader op zoek. Vergeefse moeite. Wel is zijn tas mer een scheermes opengesneden. Maar daar bemoei ik me niet mee. Zakkenrollers staan snel klaar met een mes. En mijn leven is me nog telief. Bovendien...allemaat moeten we aan de kost zien te komen...Ik schrik uit mijn mijmeringen ope wannerrt ik in de buurt van de chauffeur een geweldig gegil hoor: ‘Brand, brand!’En inderdaad zie ik een dikke rookwalm opstijgen. Zonder zich verder een ogenblik te bedenken zoekt iedereen zich trappend en duwend een veilig heenkomen. Eenmaal in de buitenlucht kom ik iedereen weer tegen, een paar onde de builen, anderen met bebloede handen omdat ze bekneld hebben gezeten. De vrouwen zien doodsbleek en staan nog op hun benen te trillen.‘Kom op, we nemen een andere bus,’ zegt een meisje. ‘Dit is me te eng.’De helft van de passagiers verdwijnt. De anderen wachten op de dingen die komen gaan.‘Wat is er eigenlijk precies aan de hand?’ vraag iemand. Ik behoor tot hen die er het fijne van willen weten, en du drom ik met de anderen om de bestuurder heen.‘Die ellendige zak!’ schreeuwt de chauffeur. ‘Wie legt er nou een jute zak op de accu. Dat gaat toch zeker in de fik!’‘Wat kaffeig! Wat een kafferstreek!’ kankeren ook de beide conducteurs.Een passagier vraagt de chauffeur: ‘Gaan we weer?’‘Kom op, we gaan weer.’ En het restantje passagiers dat de blauwe SMS-bus nog voor lief neemt, stapt weer in. De keer is er plaats te over en hoeven ze niet te dringen.‘Kota, Kota!’ roepen de conducteurs vol vuur. Ik ga maar bij het raampje zitten. Al been ik veel en veel te laar, van louter opluchting moet ik lachen. Het is allemaal wonderwel afgelopen!





(Cerpen ini selain diterjemahkan di dalam bahasa Belanda juga dalam bahasa Indonesia dibacakan dan dipiringhitamkan oleh Radio Hilversum, Nederland, terikut pula cerpen-cerpen lainnya yang memenangkan sayembara Kincir Emas 1975.)

MATA BLORONG
Rahmat Ali
SARPAN sedang dihinggapi penyakit ingin cepat kaya: Padahal kondisi sebenarnya sangat berlawanan. Inilah payahnya."Repot suamimu, Minah," kata mentuanya. "Dia mulai ber­gaya pula. Hampir semua persoalan dikatakan beres. Malasnya makin menjadi jadi. Baru mau bangun kalau matahari sudah di tengah langit. Matanya merah geragapan. Memandang sepele mereka yang cari rumput. Mahunya apa? Setahun yang lalu dia kupuji. Tidak malu cangkul-cangkul di sawah lurah. Tiga anak­anakmu ditugaskan pula, mengembala selusin kambing dan dua kerbau. Lurah kita orang baik. Dia menghargai Sarpan yang rajin. Harusnya anak-anakmu tidak terlibat sekeras itu. Tetapi benar juga. Daripada main-main. Tidak menghasilkan apa-apa. Lumayan hasilnya untuk sangu lebaran mereka. Banyak faedahnya meng­awasi beberapa binatang ternak itu di padarig rumput dekat hutan sana itu. Dan sekarang, beberapa bulan kemudian, kenapa tiba-tiba terbalik. Sarpan jadi kelihatan dungu. Linglung. Tidak pedulian. Seperti tidak sedar kalau punya tanggungan keluarga. Kamu di­biarkan menghadapi tungku yang tidak pernah bernyala. Lalu anak­anakmu diumbar sampai sore di sungai. Hanya main-main melulu kerja mereka. Kerbau dan kambing-kambing lurah dibengkalaikan. Yang punya kelam kabut. Kamu yang kena damprat orang. Padahal tidak tahu apa-apa. Gara-gara Si Sarpan. Ke mana suamimu, Minah? Sudah seminggu tidak pulang-pulang. Berasmu habis. Tunggakan di warung menompok. Tidak terbayar-bayar. Hairan aku melihat kelakuan menantu yang begini. Apa jawapan, Minah?"Apa yang dikatakan bapaknya benar. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Minah tidak bisa menjawab. Tidak baik. Via harus tetap menghormati bapaknya. Dia tumpuannya. Pagi tadi Minah dan anaknya meninggalkan rumah Klayatan. Lalu bergabung kembali ke tempat orang tua. Malu. Dan sebenarnya tidak tega merepotkan. Dia sudah tua. Sudah capek memelihara anak. Kahwin ertinya pisah dengan orang tua. Bererti Minah harus sudah pandai mandiri. Hanya kenyataannya lain."Sudahlah, kang," pernah menyarankan suaminya Sarpan, "kita hidup ala kadarnya saja. Bukankah sudah punya anak. Mereka harta kita yang amat mahal. Nanti lama-lama kita juga bisa lebih senang."Tetapi tidak demikian dengan jalan fikiran Sarpan. Dia lain daripada yang lain. Biar hidup di desa dia berfikiran jauh. Itulah sebabnya mentua Sarpan sering menuduhnya suka ngelantur. Ber­khayal yang tidak-tidak. Asal bukan untuk alasan yang dibuat-buat saja. Biar dikira sableng. Padahal sebenarnya sekadar menutup­nutupi kalau dia kahwin lagi. Biasa kehidupan lelaki di desa. Kalau sudah bosan kepada isteri lalu bertingkah aneh-aneh.Apa ya, fikir mentuanya.Nyatanya tidak. Mentuanya geleng-geleng. Minah makin sedih. Sedangkan Sarpan tetap tidak kunjung pulang. Sehari, seminggu, sebulan. Tidak nongol juga.Sementara itu Sarpan di tempat yang lain sedang menghadapi kecamuk. Sebagai lelaki dia ingin dipandang lebih. Oleh siapa pun. Terutama di depan mentuanya yang duda itu. Orang tua ini baik. Dia sayang kepadanya. Tetapi Sarpan tidak mahu sekadar disayang­sayang mentua. Itu tandanya kalau dia lelaki lemah. Padahal Sarpan tidak mahu dianggap lemah. Dia ingin bisa memberi pakaian yang layak kepada anak-anak dan isterinya. Ingin membuatkan rumah yang kukuh clan gede. Ingin lain-lainnya lagi."Tidak usah dulu, kang," Sarpan sering ingat kata-kata isteri­nya. "Kita orang hidup di desa sudah diketahui ukurannya. Pondok bambu atap lalang ini sudah lumayan untuk kita bersama anak­anak. Sabar sedikit, kang. Pokoknya sampeyan tresno kepadaku.""Ya, ya, Minah. Aku tresno padamu."Sarpan senyum sendiri. Itu masa-masa bahagia yang sederhana, waktu Sarpan hanya berduaan dengan Minah di rumah nginap di rumah kakeknya. Kesempatan bagi Sarpan dan Minah saling mengudar rasa. Mengungkapkan keinginan-keinginan. Atau untuk selamanya menyumbat mancurnya hasrat-hasrat, kerana sudah tidak mungkin jadi kenyataan.Bosan rasanya memikirkan nasib yang tak kunjung berubah. Toh renungan muncul di sebarang tempat di sebarang waktu. Kapan mujur dan jadi kaya? He, he, he. Betapa senang dijuluki sebagai orang yang serba kecukupan. Rumah gede. Lombong penuh. Ker­bau setiap tahun bertambah. Kambing dan ayam tak terhitung lagi. Seberapa pun wang dibutuhkan bisa bergemerincing dengan mulus. Mengalir tak berkeputusan. Para tetangga dan kenalan-kenalan pasti lebih sering berkunjung. Omong-omong sambil menikmati teh nasgitel. Dicampuri nyamikan ubi, jagung atau pisang rebus. Atau siang hari dia tidak lupa melambai mereka yang lewat depan rumah. Begitu tamu duduk Sarpan bisa langsung' teriak kepada Minah di dapur. Untuk cepat-cepat angkat nasi dan menghidangkannya di atas tikar berserta lauk-pauknya yang lengkap. Jangan lupa lalapannya, Minah. Sambal dengan air degan. Amboi, betapa sedap. Ah. Begitu kira-kira harapan Sarpan. Terhormat. Dipuji-puji, disegani. Tetapi mengapa sekarang tetap sebagai Sarpan yang dulu­dulu juga. Petani miskin. Isterinya membantu sebagai penumbuk padi di rumah lurah. Bahu sudah begitu capek menumbukkan alu ke dalam lumpang. Upah hanya tiga tempurung beras. Tidak seimbang. Tidak tahan hidup terus-menerus begitu keras. Aku harus mening­galkan keluargaku, demi kebahagiaan mereka, keputusan Sarpan. Dia lalu menghilang. Tanpa pamit. Berbulan-bulan tidak memberi khabar.Tahu-tahu Sarpan sudah di atas trak barang. Kerja sebagai kenek pembantu yang belum ngerti apa-apa. Dengan cepat belajar bagaimana harus gantikan oli, ngisi air radiator dan memasang atau nyopot kabel aki. Rupanya tidak begitu sukar. Waktu hujan dia harus buru-buru mendirikan tenda terpal di atas bak truk. Ke­ringatnya bercucuran. Rupanya lebih berat dari macul. Tetapi enak juga setelah terlaksana. Beras, gula atau terigu yang berkarung­karung aman dari titisan hujan. Sarpan sendiri nyenyak tidur di bawah tenda trak itu. Hangat. Kota-kota pantai di Jawa Timur makin sering dijelajahnya satu demi satu. Kemudian giliran Jawa Tengah. Kesempatan berikutnya Jawa Barat. Senang sekali.Dengan sang sopir trak yang dilayaninya tiap hari Sarpan sering ngobrol. Hampir tentang segala masalah. Tentang berbagai lapangan pekerjaan. Tentang guru yang kurang mendapat perhatian, gaji sering lambat dibayar, murid-murid yang kurang ajar dan tidakterkendali. Lebih enak jadi pedagang kelontong. Bikin warung di depan rumah. Harga-harga naik pedagang ikut naik. Tidak bakalan rugi."Itu hanya pandangan orang saja," jawab sopir menanggapi perkiraan Sarpan, bahawa jadi pedagang lebih enak dari guru, bahawa sopir lebih enak dari kenek. "Masing-masing punya tang­gungjawab, Kang Sarpan. Aku nyopir punya beban berat sekali. Harus bisa mengirimkan barang-barang pesanan sampai di tempat tujuan. Padahal di jalanan banyak sekali rintangan. Pada setiap pos tidak boleh diam. Selalu bayar, kang. Biar tidak begitu besar tetapi puluhan kali. Sudah berapa? Belum lagi kalau ban meletus, mesin mogok, atau macet kerana tabrakan antara kenderaan satu dengan lainnya. Ya, pokoknya menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Mahu apa sekarang? Jadi guru sudah diketahui umum bagaimana nasib mereka. Dan aku jadi sopir, umum sudah lebih tahu. Sudahlah, kang. Omong lain saja dah."Sopir ini biar masih muda tetapi lebih banyak pengalamannya, fikir Sarpan. Berkat kerjanya tiap hari yang menglanglang dari kota ke kota. Juga lantaran pergaulannya dengan banyak orang. Cuba dulu-dulu Sarpan jadi kenek, barangkali sudah jauh berlainan hidupnya. Obrolan lalu pindah ke bidang lain. Yang banyak sangkutannya dengan nasib, peruntungan, hari-hari baik dan sebaliknya. Serta perempuan.Tiba-tiba sang sopir tertawa ngakak. "Memang hari-hari baik kita, peruntungan dan kekayaan kita, banyak dipengaruhi perem­puan. Benar, kang. Makanya untuk sementara aku belum mahu kahwin. Payah. Menimbulkan banyak fikiran. Aku sekarang ingin bebas dulu. Sepuas-puasnya. Soal perempuan bisa dicari, kalau sekadar pemuas. Kakang lihat sendiri antara Surabaya sampai Rembang. Berderet. Belum lagi kalau trak kita meluncur di jalan lebar menuju Cirebon, terus menggelinding ke arah Jakarta. Bagaimanapun sama saja, kang. Maaf. Itu rahsia lelaki. Ha, ha, ha, ha."Sarpan terdiam. Dia ingat isterinya di rumah. Hanya sepintas. Ingat anak-anak dan mentua. Juga hanya sepintas. Kemudian mencuba hanyut lagi dalam obrolan. Sementara itu mesin tetap menderum. Sekali-kali klakson melengking."Kang Sarpan, sudahlah. Tidak usah pusing-pusing mikir. Apa adanya saja. Sehari dapat dan habis dimakan sudah lumayan. Kalau mbah-mbah kita dulu mungkin lain. Mereka banyak percaya kepada hal-hal yang tidak nyata. Tetapi kerana yakin betul akhirnya jadi kenyataan juga. Seperti nunggu telur Nyi Blorong. Bersemadi di pinggir Laut Kidul. Toh hasil juga. Bukankah hal begitu tidak masuk nalar? Zaman sekarang tidak mungkin, kang. Ya dari kerja keras kita menabung sedikit-sedikit. Beli cincin, beli kalung untuk perempuan di rumah. Lain kali beli berikutnya. Begitu cara menompok harta. Atau dijual setelah beberapa hari dibeli."Sarpan tetap Sarpan. Tidak lama kemudian penyakit lamanya kambuh. Malas-malasan. Teledor tidak isi air radiator. Oli mesin kecampur sabun. Sopir marah besar. Sarpan akhirnya minta diting­gal di Jakarta saja. Tinggal di Priok. Hidup sebagai pengurnpul kaleng-kaleng bekas dan besi-besi tua. Tiap hari keliling kampung. Masuk halaman-halaman rumah orang. Belakangan dia pindah di Depok. Ikut orang pegawai Pea Cukai yang wangnya banyak. Sarpan diangkat sebagai tukang kebun. Tanah yang luas dipacul sendirian oleh Sarpan. Biasa baginya, seperti di desa Klayatan dulu. Kalau kerjaan selesai di perintahkan ke kota cari bibit tanaman serta pupuk-pupuk yang diperlukan. Sarpan mulai berkenalan dengan kereta Jabotabek. Selalu periuh. Segala lapisan masyarakat tumplek di dalam gerbung. Pada berdiri semua di dalam ruangan yang sangat pengap. Tangan-tangan mereka tergantung. Mereka semua menyandarkan nasib pada kereta Jabotabek. Wajah-wajah yang tegang itu sudah tidak asing ditatap Sarpan. Waktu pintu tersorong otomatis kaki-kaki mereka segera, berlompatan keluar. Sementara itu yang mahu masuk juga bergegas mendorong ke dalam. Saling tidak mahu mengalah. Setelah di dalam gerbung para penumpang yang baru pada repot cari gantungan tangan.Kehidupan keras semua, fikir Sarpan makin yakin. Di mana ada laut yang ganas di Jakarta, fikirnya kemudian, masih di dalam kereta. Ancol. Ya, Ancol, jawabnya sendiri. Majikannya memberi Sarpan sangu banyak untuk beli bibit clan pupuk. Kesempatan Sarpan tidak mahu pulang ke Depok. Dia ingin beli karcis masuk Ancol. Dia segera turun di Kota. Ikut oplet jurusan Priok. Berhenti di hujung Gunung Sahari. Di situ dia mulai jalan. Hanya sebentar. Lalu tiba di depan loket. Dia jalan lagi. Mampir di Pasar Seni beberapa jam. Lihat seniman-seniman membuat gambar di atas kulit kambing. Mengagumi mereka yang mencukil-cukil kayu sawo. Mereka dapat duit lumayan dari pekerjaan itu. Tanpa susah-susah naik Jabotabek. Tanpa terdesak-desak. Mereka kerja di tempat yang terbuka. Enak begitu. Ah, nasib mereka lebih baik, fikir Sarpan.Dengan wang majikannya yang lumayan Sarpan memasuki restoran yang lapang dan segar. Dipesannya lauk-lauk yang lazat. Juga bir. Malamnya kebetulan ada tontonan. Di tengah pasar, Sarpan menikmatinya di tengah para pengunjung lainnya yang berjubel. Dan tengah malam dia sulah di pinggir pantai. Dia menolak gangguan-gangguan cewek yang sudah berkali-kali datang. Malam itu dia ingin memahami Laut Ancol lebih akrab. Dia lihat kelap-ke­lip kapal di kejauhan di tengah laut. Mengapa tidak turun hujan lebat dan laut Teluk Jakarta tidak mengamuk dengan ganas? Sayang. Andai kata lautnya ganas seperti yang di Pelabuhan Ratu. Hanya angin sepoi yang melandanya. Memberinya sedikit dingin yang tidak bererti."Aku datang lantaran panggilanmu, Nyai Blorong," kata Sar­pan pelan-pelan. ,"Aku sudah bersenang-senang. Sekarang aku mau bersusah­susah. Aku ingin membersihkan diri. Lantaran ingin menemuimu, Nyai Blorong. Menemuimu di Pantai Ancol ini. Aku yakin biar ombak di sini tidak besar, tetapi kamu ada. Segera timbul dari te­ngah laut. Lalu memberiku nasihat-nasihat. Agar aku bisa pulang kampung dengan nama baik. Ah, kukira kau tetap nyai yang baik. Tiap hari matamu mengikuti perjalananku. Matamu terus mengin­tai. Tanda yang baik bagiku. Maka pada kesempatan ini aku ke tepi laut. Agar bertemu mata dengan mata. Mata Sarpan dengan mata Nyai Blorong."Seketika cewek-cewek menjauh mendengar ucapan Sarpan. Orang bisa jadi macam-macam setelah masuk Ancol, fikir si cewek. Lebih baik cari lelaki yang hanya mahu menghamburkan wang dan berasyik-asyik. Daripada melayani mereka yang sinting­sinting. Bukan hanya sekali dua kali orang lalu senewen di pinggir laut. Pernah ada yang ketemu Mariam si penjaga jambatan Ancol. Pernah juga seorang insinyur jadi sebleng. Dan sekarang giliran lelaki yang bicara sendirian itu. Baikan kabur ke tempat lain. Sarpan tidak peduli kepada gunjingan cewek. Tidak ambil pu­sing. Dia meneruskan bicaranya."Kamu mahu apa, Pan? Kaya, terkenal, dihormati, disanjung­sanjung dengan harta yang bertompok-tompok tanpa korupsi? Ba­gus, bagus. Tidak sukar yang harus kamu kerjakan. Asal mahu.""Jelas aku mau, Nyai Blorong. Mau, mau. Aku sudah me­nunggu-nunggu petua darimu. Terima kasih, terima kasih." Sebenarnya Sarpan hanya mendengar angin yang sepoi. Lampu kapal tetap kelap-kelip di kejauhan. Tertawa cewek-cewek malam sekali-kali mengejek di balik pohon-pohon kelapa."Aku senang mendengar tertawamu yang meriah itu, Nyai Blorong. Katakan apa yang harus kukerjakan. Sekarang juga aku sudah siap melaksanakan perintahmu.""Ya, ya, ya. Aku katakan. Begini. Kamu kumpulkan batu-batu putih dan bakar di tungkumu di rumah Klayatan sana. Bagi setiap nyala yang besar kamu segera mendapat setompok emas. Bisa kamu tukar dengan barang apa saja yang jadi keinginanmu. Tetapi hanya selama tujuh tahun. Setelah itu kamu jadi milikku. Mengerti, Sarpan?""Mengerti, Nyai Blorong. Aku mengerti.""Nah, pulanglah. Temui anak-anak clan isterimu. Kemudian kerjakan sendirian di tempat yang sunyi. Tidak boleh seorang pun tahu."Sarpan seperti sadar. Dia tertawa sendirian. Dia lihat Ancol sudah sepi sekali. Restoran-restoran pada tutup. Kerusi-kerusinya sudah terbalik. Dia menyeringai keluar. Tukang-tukang sapu menoleh kepadanya dengan perasaan agak hairan dan aneh. Sarpan tidak juga peduli. Benarkah dia sudah bicara dengan Nyai Blorong? Menurut orang-orang tua ceritanya menyeramkan. Kalau sudah memperlihatkan diri bererti orang tersebut sudah mendekat ajalnya sendiri. Sarpan jadi takut. Mengumpulkan batu-batu putih tidak lain mencopoti tulang belulang anak-anaknya. Untuk dibakar biar tungku menyala lebih besar. Wah, wah. Celaka. Celaka. Tidak mau. Setelah tujuh tahun jadi milik Nyai Blorong. Tidak mau. Sarpan bagaimanapun tidak bersedia diperbudak oleh siapa Saja. Untung sadar dan cepat-cepat meninggalkan Pantai Ancol. Pantai itu menimbulkan fikiran yang tidak-tidak. Serba ngaco.Sarpan lebih sedar lagi. Sudah tujuh tahun dia mengembara, tidak pernah pulang. Mungkin Nyai Blorong yang dibayangkannya semalam tidak lain Kala, dewa waktu di Jakarta. Dia menagih Sarpan, tidak seyogianya hidup di Jakarta secara santai-santai. Tiap orang harus punya pegangan tetap sebagai apa saja. Sopir juga pekerjaan mulai di samping kenek. Juga sebagai tukang kebun di rumah pegawai Bea Cukai di Depok itu. Tetapi Sarpan sudah mem­bawa lari wangnya untuk foya-foya di pantai Ancol. Bagaimana? Ah, Sarpan bingung. Tidak punya pendirian harus apa. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke kampung. Klayatan di sana tanah kelahirannya. Di sana dia mulai tumbuh jadi manusia, dapat isteri dan anak-anak. Apa yang dicari lebih dari hidup sehari-hari yang biasa-biasa saja. Sudah dibuktikan ke Surabaya, ke Semarang, Cirebon atau Jakarta juga tidak punya perbedaan. Malah lebih re­koso. Lebih keras. Penuh risiko. Bisa-bisa sableng, sinting, urakan dan gila. Sarpan tidak mau. Atau mungkin itu sudah merupakan hukuman dari Nyai Blorong, yang matanya selalu mengintai dan menggoda iman manusia. Yang mempermainkan mimpi-mimpi Sarpan selama ini? Ya, Sarpan tidak merasakan. Tidak sedar lan­taran hipnotis mata Blorong itu sendiri? Benarkah sudah sejauh itu jiwa dan fikiranku terpengaruh, tanya Sarpan kurang yakin.Yakin atau tidak sudah jadi kenyataan. Sedar atau tidak Sarpan sudah mengembara jauh, melupakan anak-anak, menjauhi isteri yang tidak tahu apa-apa, membikin gelisah mentua, menjauhkan jarak hubungan desa dengan dirinya'yang di kota. Apakah keisti­mewaan Jakarta sehingga dia tertarik, tersedot, terpental, dan hidup sendirian tanpa tujuan?Sarpan lalu didera oleh petualangannya sendiri. Dia menangis. Dia dipermainkan mimpi yang disihirkan dari mata Blorong. Dia melihat tulang-tulang kaki anak-anaknya dipotong-potong. Lalu dijadikan kayu-kayu pembakar tungku kehidupan Sarpan yang tidak menentu. Bah: Dosanya. Dosanya melebihi Gunung Semeru. Maafkan aku, Minah. Ampuni suamimu.Kala telah berubah jadi Siwa. Wajahnya menyeringai menatap marah terhadap Sarpan. Ketakutanlah dia. Bersembunyi balik bantal. Berteriak-teriak di dalam rumah kontrakan dari kardus di pinggir Ciliwung. Pulang, Sarpan. Lebih baik pulang ke Klayatan. Anak isterimu serta mentuamu masih mau menerima kedatangan­mu.. Daripada kamu jadi sampah tong-tong Jakarta. Kereta Jabotabek bukan tempatmu menyandarkan nasib. Kaleng-kaleng dan besi tua bisa melibatkan dirimu ke dalam pencurian dan pemalsuan besar. Pulang saja, Sarpan. Pulang masih jauh lebih mulia daripada mengais-ngais di Jakarta.Gelaplah dunia di dalam rumah kontrakan Sarpan yang dari kardus di tepi Ciliwung itu, ketika Siwa telah berubah kembali jadi Kala. Lalu kembali lagi menjelma mata Blorong. Menyeringai mendelik. Mengedip-ngedipkan kegenitan. Kemudian seperti am­bles, bolong tanpa biji mata. Blorong jadi jerangkung. Berwujud kerangka tanpa daging. Menari-nari, berputar-putar di sekeliling Sarpan.Sarpan tidak tahan. Dia p-ulang dengan bis. Kenapa aku jadi gila? Kalau dulu tidak pergi-pergi sudah lumayan hidupku di desa. Di Jakarta penuh Blorong. Mereka berwujud kawan-kawan yang jadi majikan, jadi bos, jadi cukong. Jadi tauke, bahkan koruptor­koruptor. Mereka bisa memperbudak diriku. Mereka bisa meme­rintahku jadi penipu. Dan Sarpan yang lupa bisa kaya sendiri, hidup dari tulang-tulang bangsanya."Minah, Minah," teriak Sarpan setiba di rumah. Isterinya ke­hairanan. Dia sudah tampak reyot, tua, kurang makan, penyakitan. Anak-anaknya juga kurus. Kurang gizi. Mentua sudah setahun meninggal. Tetapi tidak apa, fikirnya. Dia kembali untuk memben­tuk hal-hal baru, tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lama. Sarpan tersenyum.Horison(Cerita Pendek ini dimuat di “Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir” diselenggaran oleh Suratman Markasan. Di terbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kermenterian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur 1991)
DIALOQUEEN SILENCE
Nouvelle Rahmat Ali.


Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Le plus important pour eux, c'est de se laisser faire dans cette vieille maison. C'est de s'asseoir sans rien faire.On ne sait pas pourquoi il est déjà l'après-midi, le soleil s’est ensuite plongé dans le monde, la nuit le remplace. Avec des lampes sombres qui les accompagnent à leurs sommeils sur le divan, on n'entend plus rien après.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Ils sourient souvent en regardant les gens autour d’eux se dépêcher d'aller à leur travail. Ils pensent qu'ils sont les meilleurs, qu’ils possèdent des connaissances et des expériences beaucoup plus que les autres, qu’ils ont une meilleure éducation que ceux qui travaillent. C'est pourquoi ils préfèrent rester chez eux. On verra ..., le travail viendra les rejoindre un jour.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Ils sont assis sans rien faire. Ils regardent ceux qui se dépêchent d'aller à leur travail. Ils pensent qu'ils sont les meilleurs, qu'ils possèdent des connaissances et des expériences beaucoup plus que les autres, qu'ils sont plus éduqués que ceux qui travaillent ce matin. C'est pourquoi ils préfèrent rester chez eux. On verra, le travail viendra les rejoindre un jour.2.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Ils sont souvent assis sans rien faire, ils regardent ceux qui se dépêchent d'aller à leur travail. Ils sont fiers de boire du thé le matin, à la véranda. L'après-midi on les revoit faire la même chose: «boire du thé» au même endroit. Pendant ce temps leur père travaille dans le jardin devant la maison et nettoie le fossé couvert des feuilles mortes. Oui, ce n’est que le père qui fait bouger son vieux corps pour transpirer et pour combler le vide. Pendant ce temps leur mère, comme leur père a toujours plein d'activités dans la cuisine. Après avoir préparé du riz et ses accompagnements pour le dîner, la mère prend sa douche, change d'habit et rejoint ses enfants à la véranda. Dès que le tambour du crépuscule resonne de la petite mosquée pas loin de chez-eux, la mère entre dans sa chambre. Le père, finissant de balayer le jardin, se douche aussitôt et se purifie. Il entre dans la chambre pour changer d’habit: il met le sarong, s'habille en «teluk belanga» (en chemise à col fermé, typiquement malais), et un fez rouge mangoustan qu’il adore le plus. Avec sa femme, il quitte la chambre pour aller à cette petite mosquée. Le père avec quelque voisins fidèles se rassemblent dedans. Comme d'habitude c'est le père qui fait l'imam. Les autres avec leurs enfants font tous les «makmum», ils récitent toujours le Coran: ils répètent tout ce que dit l’imam.Leur place est derrière l'imam. La mère avec les voisines, sont à la ligne en arrière, séparées par une étoffe d’un mètre de haut. Elles sont des «suivantes». Dans la prière du Maghreb ils demandent grâce à Allah, récitent des versets à la gloire d'Allah et du prophète Mahomet sollallahu alaihi wassalam - pour eux. Ils demandent aussi le salut et la bénédiction de Dieu, ensuite ils font des «wirid» ou de la lecture du Coran, de longues prières et ils achèvent la prière en se serrant les mains. Les fidèles et l’Imam se serrent la main, pendant ce temps, les femmes font la même chose entre elles. On peut rentrer ou rester dans cette maison de prière en attendant l'heure d'Isya, environ une heure après le crépuscule. La mère préfère y rester en écoutant le père sermonner. Après l’Isya, ils rentrent tous.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. N'essayez pas de les secouer pour qu’ils quittent la maison ou qu’ils fassent des efforts. Ils sourient souvent en regardant les gens autour d’eux se dépêcher d'aller à leur travail. Ils sont fiers de boire du thé le matin à la véranda.3.Ils ne sont plus enfants. Ils sont adultes: le sixième enfant s'appelle Lang, sa soeur (le septième), Ling et son frère (le huitième), Lung. Le trio a fait des études à Java. Leurs parents leur ont donné des bourses. La broche en or, le collier et des boucles d'oreilles avaient été vendus pour eux. «Ça ne fait rien», disait le père, «c’est pour le bien de mes enfants».Ils sont revenus à leur village, ont quitté Java. Ils sont installés de nouveau à Bintan. Malheureusement, ils ont changé de caractère: ils sont devenus arrogants et orgueilleux. Ils se montrent capables de tout faire. Jusqu'à présent, si quelqu’un leur demande de faire quelque chose, c'est très rare qu'ils le font. Ils restent sans volonté d'accomplir. Plutôt dormir ou s’en ficher. Nonchalants. Muets. Ils n'ont même pas envie de prendre leur douche. Des habits sales sont suspendus derrière la porte. Avant que l'appel du Maghreb résonne, ils vont à la maison de prière. Comme d’habitude, le père, lui, il agit en tant qu'Imam. La mère est suivante avec les autres fidèles à la ligne en arrière, séparées par une longue étoffe d’un mètre de haut.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Ils sont assis sans rien faire. Pendant qu’ils sont assis à la véranda, leur mère a toujours plein d’activités à la cuisine. C'est son devoir quotidien: pré-parer des nourritures et des boissons pour la famille, surtout pour les enfants qui sont adultes et apathiques. Les autres enfants, les frères et soeurs de Lang, Ling et Lung travaillent et gagnent bien. Ils se sont séparés à Sumatra, Java, Kalimantan et Sulawesi. Ils sont tous mariés. Leurs femmes leur ont donné des enfants: des petits enfants pour leurs parents. Aux jours fériés ou pendant le congé, avec leurs économies ils achetaient les billets de bateau ou d'avion, ils revenaient et s'unissaient à leur ville natale. La maison était surchargée.4.Mais, il y a des années, c'était l'aîné qui est venu. L'année suivant c'était le fils numéro deux. Numéro trois. Quatre. Cinq. Neuf. Et ainsi de suite. Les parents ne veulent pas savoir quelles sont les positions de leurs enfants. Le plus important c'est les bénédictions pour leurs vies, les saluts et qu’ils vivent dans le bien-être. Comme d'habitude, s'ils ne pouvaient pas venir, c'étaient des lettres comme subsituts.Seulement pour raconter qu'ils allaient toujours bien. Les cartes souhaitant le «Minal aidzin wal faizin», pour célébrer la fête de la fin du jeûne ou «Idul Fitri». Le vieux père et la vieille mère étaient si contents et plein de bonheur !Ils sont des hauts fonctionnaires: un chef d’un bureau, un directeur, un patron d’une division etc. Lang et Lung ont trophonte pour travailler avec eux car ils ne veulent pas devenir leur subordonnés à qui on peut donner des ordres. Alors que veulent-ils faire ? A quel domaine ? S’ils demandent de travailler au gouvernement c'est déjà trop tard. Ce n'est plus possible à leur âge. Si on leur donne un poste, ils auront des problèmes avec leurs supérieurs qui sont plus jeunes qu'eux. Peut-être ces jeunes fonctionnaires sont les enfants de leurs amis, ou de leurs voisins. Même aux entreprises privées. Surtout à la petite ville comme Tanjung Pinang dans l'île de Bintan. À l'archipel de Riau ou même au continent, on peut rencontrer des juniors qui sont en bonnes positions et ont des pouvoirs assez déterminants à ces entreprises. Lang et Lung sont entourés par des gens plus jeunes qu'eux, «les enfants nés hier», aujourd'hui ont tous grandi. En effet, ils sont mêmes plus intelligents. Lang et Lung doivent surmonter la situation eux-mêmes, ils n’ont plus d’idées. Leur têtes sont bloquées. Ils ne peuvent plus réfléchir à cause de la longue paresse. On essaie de recommencer dès le début. Ils sont évidemment inférieurs. Ils ont perdu confiance. Ils ont peur. Ils sont des grands zéros !5.Ling n'est pas différente. Il y a longtemps elle a choisi un mari. Celui-ci était un homme fort et beau. On a dit qu'il était un vrai entrepreneur. Il offrait souvent des vêtements à ses beaux parents. Il allait souvent à l’étranger. Il voyageait beaucoup.Dès son retour du voyage, il apportait des cadeaux pour la belle mère et le beau père. Il leur a même promis d’aller faire construire une maison pour Ling. On a déjà préparé le dessin.«Pendant combien de mois peut-on construire une maison simple pour un couple ?» a-dit-il à sa femme il y a longtemps si convaincante, devant ses beaux parents. «Ne t’inquiète pas, chérie, je suis en train de circuler des capitaux maintenant. On aura le temps, n'est-ce pas ?» Les parents le regardaient seulement, ils n'ont donné aucun commentaire. En réalité, du début du mariage jusqu'à la naissance du troisième enfant, Ling reste toujours chez eux. Elle et son mari utilisent la chambre près du salon, celle des parents. Ces derniers la leur ont cédée et se sont déplacés en arrière, dans la petite chambre à côté de la cuisine. C’est vrai que cette chambre est un peu isolée mais cela ne fait rien. Quand la nuit tombe et après avoir fait la prière d'Isya ils n'ont plus le temps de regarder la télé. Ils sont trop fatigués d'accomplir des activités quotidiennes dans la journée. Le père, qui est déjà en retraite depuis une douzaine d'années a toujours beaucoup de choses à faire. Il n'a jamais renforcé le sentiment de solitude. Il transpire beaucoup. C'est pourquoi il dort facilement et profondément. La mère, elle aussi, elle est toujours occupée: elle fait leurs lits, elle balaie, lave, fait sécher des habits et elle repasse, elle fait des gâteaux et les vend au petit commerce d'une école élémentaire près de là. Sans doute après la prière d'Isya, c'est le bout de la force et elle a besoin d'allonger le vieux corps sur le divan, sur le vieux matelas couvert d’un vieux drap. Faire la sieste est important pour le père, à cause de son état physique. Il est d'un âge avancé. Il a déjà plus de soixante-dix ans. Avant la prière d'Asar il se retire de son lit pour aller à la maison de prière. Après ça, il balaie le jardin.A l'approche du Maghreb il est déjà de nouveau à la même maison de prière. Après l’Isya il peut dormir plus profon-dément. Il n'a plus de chance de jouir des émissions à la télé.Ne cherchez pas les coupables. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Pas bouger de leurs fauteuils. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils !. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. En effet, il n'y a pas de terme en retard. Ils doivent faire quelque chose maintenant. Mais ils n’ont jamais commencé. Ils ne savent pas comment et par où commencer. Ils font entrer des mauvaises rêves.6.Il y a des dizaines d’années Lang a été un marin. Il a travaillé comme machiniste dans un bateau de commerce. Le dollar, pound, yen et les autres monnaies ont été économisées. Il en envoyait chaque mois à la mère et au père à Tanjung Pinang, une petite ville dans l'île de Bintan. Il n’oubliait pas non plus ses frères, ses soeurs et les autres. Il leur a envoyé de l'argent, une montre, une radio de poche, des chemises comme cadeaux. Ceux-ci ont fait plaisir tout le monde. Ses parents, son frère et sa soeur à Bintan ont été tous contents. Les parents ont pu acheter un scooter. Le père peut conduire la mère au marché à faire des courses. Avec ce scooter, après midi, il fait le tour du village, regarde les pêcheurs dans le quai du port où la mer montre ses eaux transparentes avec des poissons qui nagent librement.Le père et la mère occupent la petite chambre en arrière, à côté de la cuisine. De temps en temps ils ont envie aussi de regarder la télé. Ils aiment la représentation des contes tradi-tionnels. Mais ils sentent que depuis longtemps cet appareil n' appartient plus à eux, pourtant c'était eux qui l'a acheté avec leur propre argent. Mais Ling et son mari l'ont monopolisé.Pauvre parents, ils ne possèdent plus cet instrument électronique. C'est alors qu’ils préfèrent céder, ne dérangent pas le jeune couple. Les parents sont déjà très très fatigués. Parfois jusqu'à minuit ils restent éveillés. Pourquoi le mari de Ling, n'est-il pas comme les autres beaux fils ? Les parents ont constaté eux-mêmes la réalité. Que ce beau fils-ci préfère rester silencieux dans la chambre. Il ne parle plus aimablement comme avant. Il ne leur apporte plus de cadeaux sauf de quoi à manger pour lui-même, sa femme et ses enfants dans la chambre.«Ne t’inquiète pas,» a dit la mère.«Qui s'inquiète ? » le père a répondu.«Toi. »«Comment sais-tu que je m'inquiète ? »« Ton attitude. Tes manières. De ton visage. De tes manières on voit l'inquiétude. Laisse les décider leur vie.»C'ést l’habitude du père. Il ne veut pas écouter le discours de sa femme. Pour l'éviter, il a conduit alors le scooter. Il a fait le tour du village. Comme ça, il pouvait voir les pêcheurs dans le quai du port. Il est rentré avant le Maghreb.7.Le lendemain sa pensée s’est retourné encore à son beau fils Kan. Celui-ci restait toujours étrange, même, un jour, il a acheté un truc en fer très long équipé de toutes sortes d'antennes et d’un fort câble en fumier. Ce truc en fer a été installé à côté de la maison. Il est trois fois plus haut que le cocotier. Après ça, toutes les nuits on voyait souvent Kan réactiver son émetteur. Avec celui-ci, Kan pouvait parler longuement, répondre à des questions, tellement assourdissants.Kan ne voulait plus savoir l'appel de la prière, ignorait des vieux voisins et leurs beaux parents aller à la maison de prière. Ling est devenue bizarre aussi. Elle ne voulait plus essayer de faire conscience à son mari. Elle n'avait pas de courage de l'empêcher de faire du bruit quand il faisait déjà nuit. Ling s’intéresse aussi à cet émetteur. Elle oublie même de donner à manger aux enfants. Ces derniers sont, comme toujours, sous la responsabilité de la mère de Ling, ou la grande mère des enfants. Ling ne veut plus s’occuper d’eux. Par cet émetteur elle peut se mettre en contact non seulement avec des amis aux environs de Bintan mais aussi ceux de l'extérieur de l'archipel de Riau, et même jusqu'à Kalimantan, Java Est et Nusa Tenggara Ouest.8.A la table ils s'enflamment devant leur assiette de riz et mangent gloutonnement. Leurs parents portent souvent le regard sur le riz presque finis. Heureusement la mère prend toujours une assiette de riz et une bol de soupe de légumes pour le père. Avec ça les parents déjeunent. Pour les vieux on a dit que c'était mieux de ne pas trop manger. Grâce à toutes sortes d'activités, ils peuvent dormir profondément et le lendemain, à l'approche de la prière de l'aube, ils sont en pleine santé. En effet les parents sont contents de voir Kan et Ling en train de jouir les fruits de leur travail. Quand Lang était encore un machiniste en bateau du commerce, il a débarqué à un des ports de l'Europe. Ses amis se sont disputés avec des visiteurs d'un bar. Lang a eu l'intention d’apaiser ce conflit. Mais malheureusement une arme blanche a déchiré brusquement son visage. Lang a hurlé. Les agresseurs se sont sauvés.Lang a été soigné pendant quelques jours en bateau. Maintenant son visage est en bon état, malgré cela il y a quelques marques de l’éraflure encore visible. Depuis qu’il a choisi la croisière en courte distance, apparemment Lang était intimidé à vagabonder très loin comme avant. Il a gagné juste de quoi vivre. Avec le reste de son économie Lang voulait se marier. Mais son propre frère a eu de l'inclination à sa petite amie.«Elle est pour toi,» lui a-t-il-dit. «Ça ne fait rien.» Ce n'était pas possible de se battre pour une petite amie avec son propre frère. C'était très honteux, surtout, son frère a eu un enfant avec Yati, son ancienne petite amie. Ça ne fait rien, Lang a dit. Je suis enchanté que mon frère soit heureux avec ma Yati. Le chemin de Lang était encore long. Souvent il n'est pas revenu. Brisé ? Déçu ? C'était clair. Les gens de la maison, les frères et soeurs qui étaient ailleurs ont compris son état. Ils ont entendu dire que Lang sortait souvent ensemble avec une jeune femme.9.«Dieu Merci !» le père a dit devant la mère. «Lang a grand coeur. Nous espérons que Lang réussira à obtenir le bonheur avec sa femme,» la mère a prié. «Nous l’espérons,» a dit le père. Un jour il a invité la jeune femme chez lui. C’était une petite brune et très jolie. Il l'a présentée aux parents. Ils l'ont accueillie sincèrement comme leur belle fille. En effet, Lang était trop vieux pour avoir une femme. Mais la mère et le père bien-sûr lui ont donné le soutien.Leur mariage a été célébré avec plein de joie. Tous les voisins, amis, toute la famille, les parentés ont été tous invités. Malheureusement ce bonheur n'a pas duré longtemps. Sans aucune raison la femme de Lang est partie et n'est pas revenue, sans dire au revoir à personne. Les voisins se sont posés des questions et les rumeurs ont répandu.On a dit que la femme de Lang était revenue à son lieu d'origine. La belle fille du père était une prostituée. Où Lang l’avait-t-il connue ? Et ces rumeurs, ne sont-ils vrai ? Ou on a volontairement discrédité la réputation du père comme l'imam de la maison de prière ? Ces rumeurs méchants étaient si inhumaines. Pauvre père ! Pauvre Lang ! Il reste muet et ne parle plus à personne, et s’en fiche complètement. Des jours avant le mariage, la chambre de Lang avait été décorée avec de grandes postères des nenettes presque nues et érotiques. Mais, dès que sa femme a disparu, Lang a déchiré toutes ces images. Il a ensuite coloré sa chambre avec de la peinture rouge mangoustan d’un côté, et d’autre côté en vert et en jaune. Il a voulu dessinr quelque chose pour les remplacer, mais il n'y a toujours pas de dessain, même pas un trait. Le guitare est suspendu au mur. Lang ne l'a plus jamais pincé.Dans le temps, quand les enfants étaient petits, quand le père était jeune, il travaillait et gagnait bien. Il y a environs quatre décades, le gouvernement n'a pas encore intensifié la campagne du contrôle de naissance, dans le temps, c'était encore peu normal. On gagnait beaucoup et chaque mois le salaire était payé en dollar. Il envoyait une moitié de ses seize enfants à Java pour étudier. Pas de problème. Les frères et les soeurs de Lung recevaient régulièrement de l'argent de ses parents chaque mois. Chaque vacances ils revenaient de Java avec les valises plein de nouveaux habits.La plus grande soeur de Lung a reçu le diplôme d'obstétrique. La deuxième est la femme du supérieur d’une entreprise. L'aîné est devenue un procureur à Banjarmasin. Sa soeur numéro trois est devenue un professeur d'un lycée à Bandung.10.Quand c’était le tour de Lung pour étudier à Java il comprenait la réalité. Le pension du père aux jours de ses frères et ses soeurs avait été en haut valeur, à son tour la valeur était baissée. C'était seulement pour trois ans. C'était assez. Après ça il est rentré à Bintan et il a travaillé n'importe quoi. Mais que s’est-il passé ? Lung a pensé qu'il n'avait pas de même point de vue avec ses collègues et son patron.Dans sa conviction Lung n'a pas pu accepter l’idée de son patron qu'il a estimé que ce n'était pas bien. C'était clair que le patron ne l'aimat pas. C'était facile pour lui comme supérieur de le mettre à la porte. Il lui a dit merci d’avoir bien travaillé à l’entreprise. Après avoir reçu la lettre du renvoi Lung n'est plus employé.N’accusez personne ! Ils sont déjà comme ça depuis longtemps. Ils ne bougent jamais de leur sièges. Ils sourient de regarder ceux qui se dépêchent d'aller à leurs travail. Ils restent s'asseoir fièrement en buvant du thé chaud. L'après-midi on peut les revoir à la même place faire la même chose.Lang ne pense plus à sa femme. Il a oublié qu’il y avait eu des rumeurs sur sa femme qui était prostituée. Ling est habituée sans son mari. Elle a oublié que son mari est «un grand menteur». Cela fait longtemps que celui-ci n'est plus rentré. Il a complètement oublié qu'il avait une famille. Ce n'était pas facile de construire une maison.Kan a dépensé tous ses capitaux pour le jeu d'argent et coucher avec des prostituées au dehors. Mais quelque fois, par la radio, Ling a cherché où elle pouvait retrouver Kan. Elle a posé des questions à ses amis de l’espace. Mais on n'a pas pu trouver l'information. A cause de tout cela, les parents étaient très dérangés. Ils ont voulu interdire Ling de faire cela, mais n'ont pas pu le faire. Ils ne voulaient pas voir Ling affligée.11.De toute manière, le père éprouvé de la gratitude pour la paix de sa pension à Bintan. Il a pu posseder la maison de sa propre agrent sueur de son même front. Il a réussi à construire une maison de prière et il l’a ensuite donnée à une fondation pieuse et il est nommé comme «Imam régulier». Il est heureux avec les voisins fidèles et obéissants. Ils prient ensemble et lisent des versets du Coran à la gloire d'Allah et de Mahomet sollalahu alaihi wassalam, lisent wirid ou récitation de passages sacrées, prient très long et puis se serrent les mains amicalement.«Allah pardonnez tous nos pêches,» dit-il après avoir prié. «Pardonnez tous nos pêches et nos fautes, Allah. Je suis prêt à être jugé, Allah, mais je vous demande sans impliquer mes enfants qui sont chez nous en ce moment.»«Aussi loin et autant que leurs expériences qu'ils possèdent ce sont encore petites comparées aux miennes. Ils n'ont pas encore goûté beaucoup de bonheur. Et moi-même ? J'ai déjà tout goûté. C'est pourquoi je demande qu'on les libère de la tristesse. Fais les plaisir, Allah. Donne leurs fautes à moi et laisse-moi souffrir Votre verdict, pas eux. Pitié pour Lang, il n'a jamais eu une femme plaisante. Ling a été la même. Visiblement Kan l'a quittée sans aucun lien et en ce moment elle vit, s'élève et se flotte.Pendant ce temps-là ses enfants, mes petits enfants, espèrent extrêmement quelqu'un qu'il faudrait les occuper. Finalement pour Lung, je vous demande de lui donner un travail, n'importe quoi pourvu permis, mon Dieu Allah.»N’accusez personne !. Ils sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne bougent pas de leurs fauteuils. N'essayez pas de partir ou faire d'autres efforts. Ils restent assis en souriant quand les gens autour d’eux vont à leurs places de travail. Ils restent être fier boire du thé à la véranda.L'après-midi on les revoit à la même place faire la même chose. Que doivent-ils penser ? Pourquoi penser ? pensent-ils?Il y a aussi leurs frères qui se sont souciés d'eux, de Lang, Ling et Lung. Un d’entre eux les ont invités à Bandung ou Jakarta. Pour essayer peut-être à travailler quelques instants. Aussi bien Lang, Ling que Lung étaient comme des touristes. Ils se sont promenés autour la capital. Ils ont visité les lieux de recréation. Une occasion pour oublier des problèmes. Ils étaient déjà rassasiés de leurs problèmes de la vie. En effet, l’ idée de cette invitation était bien. Surtout quand ils étaient à Jakarta. Le trio pouvait apprendre ce qu’on devrait faire pour vivre. À condition qu'ils voulait travailler. Il y en avait qui conduisait le bus ou le taxi collectif. Le vélo-taxi ou la moto-taxi. Il y en avait qui faisait des courses au marché Tanah Abang ou Mangga Dua et puis revendaient à d'autres places. Ou faire du petit commerce. Par exemple préparer de la nourriture légère. Même siffler au bord de la rue a un revenu. Quel travail on a voulu choisir ? La question c’est: On voulait travailler ou non ? Lang, Ling et Lung ne s’étaient intéressés à rien. Ils étaient encore à leurs décision au début. Ne pas vouloir travailler avec d'autre personnes. Ne pas vouloir avoir du mal. Sauf travailler pour eux-mêmes. Puis ils ont quitté Java. Ils sont revenus à leur lieu d'origine de Bintan.12.Combien le père gagne de sa pension en ce moment ? Pour combien de temps sa pension tient chaque mois pour sa vie, la vie de la mère, de Lang, Ling, Lung et trois petits enfants qui sont en train de grandir ? On ne sait pas d'où on doit faire des efforts, chercher le supplément. Leurs efforts de faire des gâteaux pour le petit commerce à l'école élémentaire ne sont pas suffisants.Les enfants du père qui restent à Java ont les mêmes responsabilités, nourir leurs propre famille. Ils envoient rarement de l'argent au père ou à la mère bien que des années avant pendant les rentrées scolaires, les parents le leur en ont demandé sans cesse chaque mois de Bintan.Malgré cela le trio reste pourtant s’asseoir à la véranda boire du thé chaud. On ne les voit plus jamais se lever au temps d'appel Maghreb puis prier à plus forte raison suivre à lire wirid, des prières longues et se serrer les mains. Jamais, encore une fois jamais plus. Oui, ça ne fait rien. Le père et la mère représentent tous. Le père est l'imam avec des hommes suivants. La mère avec des femmes voisines à la ligne en arrière bordées par l'étoffe longue à mi-mur de la maison de prière comme suivantes. Elles restent réaliser ses devoirs à pleine obéissance et la dévotion.Ne cherchez pas les coupables. ILs sont toujours comme ça depuis longtemps. Ils ne peuvent pas bouger de leurs fauteuils. N’essayez pas de faire des efforts pour améliorer la situation. Malgré cela ils sont consciences qu’ils n’auront plus leurs anciennes gloires. Si ces jours-là, ils avaient voulu calculer l'avenir ils ne glisseraient pas dans un trou comme ce qu’ils avaient fait, ... Imaginez !, Lang a été si généreux à envoyer des feuilles de pounds ou dollars à des gens chez eux et même Lang a sous-estimé à économiser.13.Le mari de Ling a continué à compléter son émetteur. Il a déjà visité des adresses de ses amis airiens jusqu'à Nusa Tenggara Ouest, Kalimantan ou à la pointe de Sabang-là.Pour être visible avoir plus du prestige aux yeux des voisins le mari de Ling n'a pas voulu être manqué à acheter de toutes sortes d’oiseux. Gelatics, prenjak ou pinsons, kakatua, perroquet, poksai, mêmes bulbuls.Combien de dizaines mille de rupiah il a dû payer pour donner à manger à des oiseux bizarres et chers ? Le mari de Ling ne voulait pas calculer. Le plus essentiel c'étaient les bavardages. Et pendant les soirs, c’étaient les bruits de son émetteur. Malheureusement après ça, ses affaires ont été bloquées. Beaucoup de ses projets n'ont pas marché. C'était le commencement de tout. Le mari de Ling est rentré rarement. Enfin, on a dit qu'il était allé avec une autre femme. On n'a pas pu savoir où il allait. Ling n'était pas persuadée. Ou elle avait peur que ces gens aurait raison et ce qu’ils ont dit sont devenus la vérité. La réalité était si difficile à accepter, si lourde. On n'avait plus besoin de poser des questions où était son mari. L'essentiel, Ling s'est déjà unie avec Lang et Lung chez-eux et ils se sont dialogues en silence. L'émetteur qui dans le temps était bruyant tous les soirs, se tait maintenant. Comment pourrait-elle Ling payer les contributions si les enfants lui demandent plus d’attention, plus d’argent ? les laisser jouer avec des oiseaux mélodieux, et elle ne gagne pas un sous ? Ce qui est important, c’est le babillage de ses propres enfants, ses semblables. Ses habitudes, son sang qui a dû pénétrer dans leurs corps. Elle doit s’occuper d’eux. Elle s’en fiche avec l'histoire d’oiseaux bizarres qui sont toujours affamés et crèvent ensuite. Ce qui lui reste, ce ne sont que les cages.Elle les a vendues bon marché. Même la tour en fer, reste à être debout et elle se remue souvent quand le vent souffle fortement. Le père et la mère s’inquiètent trop. La tour pourra tomber et provoque un accident. Mais Lang, Ling et Lung n’y pensent pas. Ce n’est pas dangereux, disent-ils. Ils sont seulement apathiques et chaque soir restent continuer à s'asseoir à la véranda. Ne cherchez pas les coupables.Jakarta, juin 1996.(Cerita ini berjudul asli « Dialog Membisu », pertama kali dipublikasikan oleh majalah « MATRA » akhir 1996, lalu saya terjemahkan dalam bahasa Perancis dengan dibantu Dra. Ny. Machfudi Mangkudilaga dan Prof. DR. Rahayu Hidayat, keduanya ahli bahasa di Jurusan Perancis, Fak. Sastra UI, Depok. Oleh penerbit « Majas », Jakarta, diterbitkan bersama kumpulan cerpen/puisi dengan judul « Bi Gayah sambalnya mmm.m » tahun 2006).DIALOG MEMBISUOleh :RAHMAT ALIJANGAN SALAHKAN SIAPA-SIAPA, Mereka dari dulu begitu. Se­perti tidak beringsut dari tem­pat duduknya. Tidak tergerak untuk pergi-pergi atau berusa­ha yang lain. Yang penting ba­gi mereka mengikuti hari de­ngan berdiam-diam begitu sa­ja di rumah lama itu. Dengan duduk-duduk tanpa melaku­kan sesuatu. Tahu-tahu sore lagi: Matahari tenggelam. Ma­lam menggantikan. Dengan lampu-lampu yang temaram yang mengantar mereka ter­puruk di atas dipan. Lalu tidak terdengar apa-apa lagi.Jangan salahkan siapa-­siapa. Dari dulu mereka begi­tu. Seperti tidak beringsut dari tempat duduknya. Tidak tergerak un­tuk pergi-pergi atau berusaha yang lain. Mereka tersenyum-senyum `saja kalau melihat orang-orang sekitar sibuk be­rangkat kerja. Dalam hati mereka mera­sa jauh lebih super. Lebih berbekal ke­terampilan dan pengalaman. Mereka telah mengecap pendidikan jauh lebih dulu dari orang-orang yang bekerja itu. Makanya lebih baik diam-diam saja di rumah. Nanti masa kerja akan datang dengan sendirinya. Diawali dengan se­pucuk surat pemberitahuan yang me­nyambut sangat baik biodata mereka dan karena itu diharap cepat-cepat ke kantor perusahaan untuk menyelesai­kan kelengkapan administrasinya.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti tidak bering­sut dari tempat duduknya. Tidak terge­rak untuk pergi-pergi atau berusaha lain. Mereka tersenyum-senyum saja ka­lau melihat orang-orang sekitar sibuk berangkat kerja. Mereka tetap bangga minum teh di beranda. Sorenya tampak lagi di beranda minum teh hangat yang sama. Sementara bapak mereka mem­bersihkan halaman dengan menyapu atau sedikit merigorek-ngorek parit yang dijatuhi daun-daun kering dari pohon. Ya si Bapak sekadar menggerak­kan badan tua agar berkeringat di sam­ping untuk mengisi kekosongan sore. Pada saat yang sama ibu mereka selalu ada saja kegiatannya di dapur belakang. Setelah nasi dan lauknya disiapkan -un­tuk makan malam si Ibu mandi, bergan­ti pakaian yang bersih, dan bergabung duduk-duduk sebentar di beranda de­pan. Begitu azan magrib menggema da­ri surau sebelah rumah dia masuk ka­marnya. Si Bapak sudah selesai menya­pu halaman. Dia mandi cepat-cepat dan mengambil air wudu. Menyusul masuk kamar berganti sarung, mengenakan baju teluk belanga, dan bersongkok me­rah manggis kebanggaannya. Lalu be­rangkat sama-sama si Ibu ke surau ~e­belah rumah. Si Bapak dengan bebera­pa tetangganya yang taat-taat berkum­pul semua di surau itu. Si Bapak seperti biasa jadi imam. Para bapak la­innya beserta anak-anak lelaki yang bia­sa mengaji sebagai makmum berada di saf belakang imam. Si Ibu dengan kaum perempuan para tetangga berada di ba­! risan belakang yang dibatasi kain se­tengah tembok, sebagai makmum juga. Salat magrib itu dilanjutkan dengan permohonan ampunan kepada Allah, selawat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam, wirid-wirid, tahlil, doa-doa panjang, dan ditutup dengan salam-me­nyalam antara imam dan makmum ja­maah lelaki, sementara yang ibu-ibu bersalam-salaman dengan para ibu juga. Pulang atau boleh tinggal di situ me­nunggu saatnya isya. Si Bapak dan si Ibu pilih tinggal sambil berceramah atau bergantian mendengarkan cera­mah. Mengaji atau sekadar omong­omong ringan dengan para jamaah su­rau. Setelah isya ba*rulah mereka semua pulang.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti tidak bering­sut dari tempat duduknya. Tidak ter­gerak untuk pergi-pergi atau berusaha lain. Mereka tersenyum-senyum saja kalau lihat orang-orang sekitar sibuk berangkat kerja. Mereka tetap bangga minum teh di beranda. Sorenya tampak f lagi di beranda minum teh hangat yang ; sama. Sementara bapak mereka membersihkan halaman dengan menyapu I atau sedikit mengorek-ngorek parit ! yang dijatuhi daun-daun kering dari po­hon. Pada saat yang sama ibu mereka selalu ada saja kegiatannya di dapur be­lakang. Mereka bukan anak-anak lagi. Lebih dari akil balig.Yang tertua lelaki. Pang­gilannya Lang, Adiknya yang perempuan Ling. Adik yang lainnya, lelaki, Lung. Ketiga bersaudara tersebut pernah belajar di Jawa. Bapak dan ibu merekalah yang membiayai. Tidak ja­rang peniti emas, kalung, dan giwang kesayangan dijual demi tambahan biaya yang mendadak ditulis dalam surat re­ngekan. Padahal bukan untuk buku atau keperluan pendidikan. Tidak apa demi sukses masa depan. Rengekan-­rengekan lain tidak terhitung, tidak pernah ditunda-tunda. Seberapa pun di­usahakan dan wesel segera dikirim. Lantaran sudah mendapatkan ilmu yang cukup untuk bekal itulah mereka pu­lang. Meninggalkan Jawa. Tinggal kem­bali di Bintan. Sayangnya mereka jadi angkuh dan sok menganggap orang lain ringan. Termasuk di rumah. Sehingga jarang sekali man disuruh-suruh. Ada saja alasan menolak suruhan orang tua. Seringan apa pun mereka tetap tidak mau melaksanakan. Lebih molor tidur atau duduk-duduk masa bodoh. Cuek. Membisu. Tidak mandi-mandi. Pakaian­pakaian kotor digantung di balik pintu. Atau tidak dibawa ke sumur di bela­kang. Karena sia-sia dan menyadari anak-anak mereka sudah amat pintar maka lebih baik Bapak atau Ibu -melak­sanakan tugas rumah sendiri. Saat su­dah rapi semua begitu azan magrib ber­gema si Bapak dan si Ibu berangkat ke surau. Bapak jadi imam Ibu jadi mak­mum bersama jamaah lain di saf bela­kang yang dibatasi kain panjang sete­ngah dinding surau.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari dulu mereka begitu. Seperti tidak beringsut dari tempat duduknya. Tidak tergerak untuk pergi-pergi atau berusaha lain. Mereka tersenyum-senyum saja kalau melihat orang-orang sekitar sibuk be­rangkat kerja. Mereka, tetap bangga minum teh di beranda. Sorenya tampak . lagi di beranda minum teh hangat yang sama. Sementara bapak mereka mem­bersihkan halaman dengan menyapu atau mengorek-ngorek parit yang dija­tuhi daun-daun kering dari pohon. Ya, si Bapak sekadar menggerakkan badan tua agar berkeringat di samping untuk mengisi kekosongan sore. Pada saat yang sama ibu mereka selalu ada saja kegiatannya di dapur belakang: Dari ha­ri ke hari begitu kewajiban Ibu, sekali lagi menyiapkan makan dan minum un­tuk anggota keluarganya terutama anak­anak yang kini sudah akil balig dan serba-masa-bodoh itu.Anak-anak yang lain, saudara-saudara Lang, Ling, dan Lung, sudah pada be­kerja semua. Mereka terpencar. Di Su­matera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Anak-anak itu menikah. Istri-istri mere­ka memberikan anak-anak pula, cucu­cucu bapak ibu mereka. Kalau saat cuti dan anak-anak cukup menabung untuk perjalanan naik kapal pulang-pergi maka berkumpullah. Kamar jadi penuh. Beberapa tahun yang lalu yang datang anak pertama. Tahun berikutnya anak nomor dua. Nomor tiga. Empat. Dan seterus­nya. Masing-masing menunjukkan ke­banggaannya di tanah kelahiran. Orangtua tidak mau tahu jabatan apa di­miliki anak-anak itu.Yang penting hidup berkah selamat, dikurniai kebahagiaan dan kesejahteraan. Andai tidak bisa da­tang suratlah sebagai penggantinya. Se­kadar kabar selamat sekeluarga atau kartu minalaidin walfaizin. Betapa puas dan ikut bahagianya si bapak dan si ibu tua itu.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti tidak bering­sut dari tempat duduknya. Tidak terge­rak untuk pergi-pergi atau berusaha la­in. Bagaimana Lang, Ling, dan Lung memperbaiki diri? Apa mereka merasa sudah terlambat? Tidak sempat lagi mengajukan lamaran yang kesekian ka­linya? Terutama pada diri Lang dan Lung, dalam hati mereka mengaku salah. Terialu meremehkan segala hal. Makin sok saja dan tidak ramah. Akhir­nya sekarang yang bekerja generasi le­bih muda. Mereka yang dulu kanak­kanak itu yang justru sudah menempati posisi-posisi baik. Malah tidak sangka sudah demikian jauh di atas Lang, Ling, dan Lung. Jadi kepala bagian, kepala kantor, atau direktur perusahaan. Lang dan Lung malu untuk ikut-ikut kerja. Apalagi nanti jadi bawahan yang disu­ruh-suruh atau dimarah.Mau jadi apa? Di bidang apa? Di pe­merintahan jelas sudah amat terlambat. Usia mereka tidak memungkinkan un­tuk diterima. Andai diterima pun nanti­nya mereka akan menghadapi atasan yang dulu juniornya. Mungkin pejabat­pejabat muda itu anak-anak kawannya sendiri. Atau tetangga. Tidak mungkin mereka laksanakan. Di swasta sama ju­ga. Lebih-lebih di Bintan yang kecil. Di seluruh Riau kepulauan atau daratan pun bisa saja mereka bertemu dengan generasi muda yang berperan cukup menentukan di perusahaan-perusahaan. Lang dan Lung seperti terkepung anak-anak lebih muda, anak-anak ke­marin, yang kini sudah dewasa semua dan tidak boleh diremehkan. Malah ter­nyata jauh lebih pintar. Lang dan Lung mau inisiatif sendiri mereka tidak punya ide. Buntu inspirasi karena sejak awal tidak pernah diasah. Mau mulai dari ba­wah pun minder. Tidak percaya diri. Ter­lanjur dikenal sebagai pengomong be­sar dan takut ketahuan sebenarnya nol besar!Ling tidak jauh beda. Dialah dulu yang pilih pasangan jadi suami. Me­mang atletis dan ganteng. Memikat. Ka­tanya pengusaha yang banyak akal. Jangkauan kerjanya jauh dan berani. Ba­pak dan Ibu pernah dibelikan pakaian. Dari mana-mana sering bawa oleh-oleh untuk mertua. Malah menjanjikan tidak lama lagi Ling akan dibuatkan rumah. Gambarnya sudah siap."Berapa lama sih satu rumah dengan perabot standar pasangan suami-istri baru?" kata sang mantu dulu begitu me­yakinkan di depan kedua mertuanya, "I'idak usah.khawatir. Uang sekarang sedang diputar. Sayang kalau dibelanja­kan untuk konsumsi isi rumah tergesa­gesa. Ada waktunya sendiri, kan?"Orangtua tidak mengiyakan tidak menidakkan. Orang tua sekadar melihat dari jauh. Nyatanya dari awal pernikah­an sampai tiga anak lahir tetap saja Ling menumpang satu rumah. Mengguna­kan kamar dekat ruang tamu. Orangtua mengalah dan pindah ke kamar di belakang dekat dapur. Agak terpencil memang tetapi tidak apalah. Kalau malam sehabis salat isya orang tua tidak sempat lagi menikmati siaran televisi. Mereka cukup letih melakukan kegiatan seharian penuh. Biarpun Bapak sudah belasan tahun pensiun masih saja banyak yang dilakukan. Tidak per­nah merasa kesepian dan berkeringat banyak. Itu yang membuat cepat tidur nyenyak. Si Ibu sendiri dari mudanya tidak su­ka nganggur. Dari beresin tempat tidur, nyapu, nyuci, menjemur, menyetrika, bikin kue-kue untuk dijual ke warung sekolah, salat tiap waktunya di surau, dan lain-lainnya.Makanya sehabis isya merupakan puncak keletihan dan perlu melonjorkan badan di dipan berkasur dan berseprai tua itu. Siang karena kon­disi Bapak melemah dalam usia pasca­tujuh-puluh, kalau ada waktu, disempat­kan tidur barang beberapa menit. Sebe­lum asar bangun untuk salat di surau. Lalu menyapu halaman sore-sore. Me­ngorek-ngorek saluran yang dijatuhi daun-daun kering lalu membakarnya di sudut. Menjelang magrib sudah di su­rau kembali. Sehabis isya bisa tidur lebih pulas. Tidak sempat lagi menikmati siaran-siaran televisi.Jangan salahkan siapa-siapa. Sudah dari dulu mereka begitu. Seperti tidak beringsut dari tempat duduk. Tak tergerak pergi-pergi atau berusa­ha lain. Bagaimana Lang, Ling, dan Lung memperbaiki diri? Sudah benar-­benar terlambat? Sebenarnya tidak ada istilah terlam­bat. Masalahnya untuk perbaikan yang harusnya sekarang ini mereka tidak kunjung memulai-mulai juga. Seakan­akan trauma. Beberapa belas tahun yang lalu Lang pernah jadi pelaut. Tu­gasnya teknisi mesin suatu kapal da­gang. Dolar, pound, yen, dan uang-uang asing lainnya pernah ditabungnya. Tiap bulan bisa mengirimi Ibu dan Bapak di rumah di Pulau Bintan. Adik-adik yang lain mendapatkan jatah kiriman juga berupa uang, jam tangan, radio saku, atau baju, dan suvenir-suvenir lainnya. Begitu besarnya kiriman Lang sehingga bisa dipergunakan untuk beli skuter. Lumayan bagi Bapak bisa mengantar Ibu belanja keperluan dapur ke pasar. Dengan skuter itu pula Bapak sore-sore berkeliling. Menyaksikan para peman­cing di dermaga pelabuhan yang waktu itu airnya sangat bening dan ikan ikannya kelihatan jelas. Ling sendiri waktu itu begitu lengket­nya dengan Kan. Logis dong dengan su­ami begitu. Ke mana pun Kan pergi Ling ikut. Sehingga Ling tahu lika-liku orang berbisnis. Berloncatan dari satu pulau ke pulau lainnya. Naik tongkang di te­ngah gelombang yang besar. Atau naik kapal besar. Merasa gagah dan ber­gengsi saat naik pesawat. Sampai di Bintan kembali Ling tetap mengatakan bahwa pembuatan rumah ditunda sam­pai tahun depan. Sayang uang diambil untuk beli bata dan semen. Lebih baik diputar lagi sampai maksimal. Jadi un­tuk sementara biar terus menggunakan kamar depan dekat ruang tamu."Ya, ya, ya," itu saja yang diucapkan Ibu."Ya, ya, ya," itu pula yang dikatakan Bapak.Mereka menempati kamar belakang dekat dapur yang agak terpencil. Kadang-kadang ingin juga ikut nonton televisi yang menyuguhkan cerita tradi­sional kegemaran mereka. Tetapi mere­ka merasakan bahwa sudah lama televi­si murni pembelian mereka itu dimono­poli Ling dan suaminya. Seakan-akan benda elektronik itu sudah jadi milik mereka. Maka sebagai orang tua lebih baik mengalah. Jangan mengganggu pa­sangan keluarga muda. Mereka pura­pura sudah amat letih dan sebaiknya cepat-cepat melonjorkan diri di dipan, biarpun kadang-kadang sampai larut pun belum memicing mata. Bapak merasakan keganjilan saat man meme­jamkan mata: Mengapa suami Ling tidak seperti menantu-menantunya yang lain? Mereka menyaksikan kenyataan. Bahwa menantu mereka yang ini lebih banyak berkutat di dalam kamar. Tidak lagi banyak bicara ramah seperti dulu. Tidak pernah lagi bawa oleh-oleh kecu­ali untuk dimakan sendiri,dengan anak­istri di dalam kamar."Tak usah risaulah," kata Ibu. "Siapa risau?""Bapak.""Dari mana kau tahu An risau?""Gelagat Bapak. Tingkah dari waktu ke waktu. pari muka. Dari cara bicara dan lain-lain sudah menunjukkan, risau. Sebaiknya kita yang tua ini memandang saja dari jauh. Biarkan mereka menentu­kan hidup mereka sendiri."Sudah jadi adat Bapak, dia tidak man diceramahi istri. Untuk mengelaknya dia lalu naik skuter ke lapangan bola, barangkali ada pertandingan. Jadi bisa nonton sebentar dan pulang sebelum magrib. Besoknya pikiran Bapak pada menan­tunya lagi. Sekali lagi Kan aneh. Kan sang menantu lalu beli batang besi yang panjang lengkap dengan berjenis jenis antena plus kawat-kawat baja yang kuat: Batang besi itu didirikan di samping ru­mah. Tingginya tiga kali batang kelapa. Setelah itu malam-malam sampai dini hari sering terlihat Kan menghidupkan radio komunikasinya. Dengan radio itu Kan ngomong panjang lebar, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan kata­kata yang sangat sangat membosankan, cuat-cuit cuat-cuit membisingkan. Kan tidak man tahu azan digemakan, tidak peduli orang-orang tua dan mertua pergi salat di surau. Aneh juga Ling tidak berusaha menyadarkan suaminya. Tidak berani mencegah berbising­bising kalau sudah larut malam dan harus menghormati orang-orang yang sudah tidur. Ling seperti ikut tertarik pada radio komunikasi yang dipasang Kan. Sampai lupa memberi makan anak-anaknya. Se­lama itu seperti jadi tanggungan Ibu, nenek mereka. Ling tidak man tahu dan lebih terkonsentrasi kepada cuat-cuit. Katanya melalui radio itu dia bisa berhu­bungan tidak saja dengan kolega-kolega udara di sekitar Bintan tetapi bahkan sampai di luar Kepulauan Riau. Bahkan sampai Kalimantan, Jawa Timur, dan NTB sana. Apa yang diobrolkan sampai larut malam dan membuat mata merah karena tidak tidur-tidur serta sangat mengganggu Bapak? Mengganggu ke­tenteraman tetangga juga?Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti tidak bering­sut dari tempat duduknya. Tidak terge­rak untuk pergi-pergi atau berusaha la­in. Kalau saatnya makan mereka cepat cepat menduduki kursi, menghadapi pi­ringnya masing-masing dan dengan la­hap menyantap. Sering orang tua meli­hat nasi sudah hampir habis dan tersisa sedikit saja. Untungnya Ibu selalu me­nyimpan sepiring nasi dan semangkuk sayur serta lauknya untuk `Bapak. De­ngan sisa-sisa yang seadanya itu Bapak Ibu makan siang. Bagi orang tua me­mang seyogianya makan minimal biar lebih sehat. Dengan keadaan terbatas begitu justru mereka jauh dari penyakit. Jarang mereka pusing-pusing atau de­mam. Berkat kegiatan yang selalu ada dan macam-macam maka mereka bisa tidur nyenyak dan paginya saat menje­lang salat subuh mereka segar sekali. Sebenarnya orang tua ikut bahagia menyaksikan anak-anaknya pernah se­nang. Lang waktu jadi teknisi mesin di kapal dulu tidak disangka mengalami peristiwa. Yaitu saat mendarat di salah satu pelabuhan Eropa. Di sana kelom­pok kawannya bertengkar dengan orang-orang bar setempat. Lang ber-. maksud mendamaikan. Tetapi justru Lang yang dicap sebagai biang kerok keributan. Tiba-tiba saja benda tajam menyobek-nyobek mukanya. Lang me­raung. Para pengeroyoknya melarikan diri. Berhari-hari Lang dirawat di kapal setelah terlebih dulu dua hari dioperasi di rumah sakit pelabuhan. Sekarang muka Lang sudah mulus kembali walau­pun bekas-bekas sayatan masih tampak jelas sekali. Sejak itu dia memilih -pe­layaran jarak dekat di dalam negeri. Lang seperti jera melanglang jauh-jauh seperti dulu. Karena rupiah yang di­dapat pas-pasan Lang semakin malas. Dengan sisa-sisa tabungan sebaiknya dia berumah tangga saja. Tetapi justru pacar yang dianggap setia itu dicintai adik kandungnya sendiri."Ambil saja," katanya."Aku tidak apa-­apa," kata Lang meyakinkan kepada adik kandungnya itu.Tidak mungkin se­bagai yang lebih tua Lang berkelahi memperebutkan pacar dengan adik kan­dung sendiri. Akan sangat memalukan kalau orang-orang sekitar bisa tahu se­muanya nanti. Orang tidak bisa membayangkan ba­gaimana hubungan antara mereka ke­mudian. Mungkin jadi kikuk, tidak enak, sedih campur aduk, dan lain-lain. Kemudian bisa tenang kembali. Toh adiknya bisa punya anak dengan bekas pacarnya itu. Tidak apa, kata Lang da­lam hati. Aku senang adikku berbahagia dengan Yati.Perjalanan Lang masih panjang juga. Dia sering fidak pulang. Patah hati? Ke­cewa? Sudah jelas. Orang-orang di ru­mah, saudara-saudara yang terpencar ja­uh, semua mengerti tentang dirinya. Di­dengar kabar kalau Lang sering berken­can dengan seorang perempuan muda."Syukurlah," kata Bapak di hadapan Ibu, "Lang berhati besar. Dia kesatria di depan adik-adiknya.""Mudah-mudahan Lang yang sabar itu segera mendapatkan kebahagiaan-nya," doa ibunya. "Mudah-mudahan," jawab Bapak. Suatu saat pacarnya yang baru dibawa pulang. Wajahnya hitam manis. Diper­kenalkan kepada kedua orang tua. Ba­pak clan Ibu dengan tulus menerima pe­rempuan muda itu sebagai anak menan­' tu mereka. Lang sudah lebih dari cukup umur untuk beristri. Ibu dan Bapak pa­tut mensponsori.Pernikahan mereka dirayakan cukup meriah. Para kerabat dan handai tolan diundang semua. Sayangnya tidak ber­langsung lama. Tanpa sebab yang jelas istri Lang pergi dan tidak kunjung kem­bali. Tanpa pamit kepada siapa pun. Ba­nyak tetangga bertanya-tanya dan gosip menyebar. Mengabarkan kalau bekas istri Lang telah kembali pada profesinya semula sebagai perempuan nakal. Menantu Bapak itu pelacur. Di mana pe­j rempuan muda itu dulu ditemukan Lang? Benarkah gosip yang ditiup­tiupkan? Atau sengaja untuk menjatuh­kan reputasi Bapak yang imam surau? Kejam sekali gosip jahat tersebut. Ka­, sihan Bapak. Kasihan pula Lang, yang kemudian jadi pendiam dan tidak pedu­li. Dulu kamar pribadi,Lang yang memo­jok dan khusus dihiasi macam-macam poster ukuran dua meter. Biasanya ten­tang pengendara motor ala metal. Cewek-ceweknya yang berbusana sa­ngat mini dan dua lainnya terpotret sa­ngat artistik erotik dari cantik-cantik. Sejak istrinya lari poster-poster tersebut di- 'robek-robek Lang. Dinding kamarnya segera dicat merah manggis, sebelah la­innya hijau, dan sebelah lainnya lagi ku­ning. Katanya dia akan melukisinya. Te­tapi sampai sekian lamanya tetap saja , tidak secoret pun dilukiskan. Gitar pun tetap tergantung pada paku dinding dan tidak pernah dimainkan.Perjalanan Lung lain lagi. Sebenarnya dia anak lelaki yang sangat menyadari seberapa besar potensi Bapak. Sekitar empat dekade yang lalu pemerintah be­lum menggencarkan kampanye KB. Sa­at itu masih agak normal. Gaji berlim­pah dan tiap bulan yang diterimanya adalah dolar. Bagi separo dari enam be­las anaknya yang dikirimkan ke Jawa untuk bersekolah bertahun-tahun tidak ada masalah. Para abang dan kakak­kakak perempuan Lung bergantian diki­rimi wesel tiap bulan. Setiap vakansi me­reka datang dari Jawa dan kembalinya selalu bawa koper penuh pakaian baru. Kakak perempuan Lung tertua nomor dua menjadi bidan. Yang nomor satu ja­di istri pemimpin perusahaan. Abang tertua menjadi jaksa di Banjarmasin. Ka­kak perempuan nomor tiga menjadi gu­ru bahasa di suatu SLTA di Bandung.Ketika giliran Lung harus belajar di Jawa dia melihat kenyataan. Bahwa pen­siun Bapak yang dulu tinggi, pada masa Lung, sudah jadi demikian turun nilai­nya. Makanya Lung tidak harus ber­lama-lama. Cukup tiga tahun saja dan setelah itu pulang ke Bintan untuk kerja apa saja. Tetapi apa yang dihadapi Lung? Dia merasakan baik kawan man­pun atasannya di tempat kerja tidak be­gitu dicocokinya. Lung atas keyakinan­nya tidak man begitu saja menuruti ke­hendak atasannya, yang dianggap tidak benar. Jelas Lung tidak disuka. Mudah saja bagi atasan menyingkirkannya. Lung diberi surat ucapan terima kasih telah menyumbangkan tenaga di per­usahaan tersebut. Setelah menerima su­rat itu besoknya tidak diakui lagi seba­gai pegawai.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­In mereka begitu. Seperki tidak bering sut dari tempat duduknya. Tidak terge­rak untuk pergi-pergi atau berusaha la­in. Mereka tersenyum-senyum saja ka­lau melihat orang-orang sekitar sibuk berangkat kerja. Mereka tetap bangga minum teh di beranda. Sorenya tampaklagi di beranda minum teh hangat yang sama. Lang tidak ingat lagi kalau dulu pernah punya istri yang digosipkan sebag4pelacur. Ling seperti biasa-biasa saja walau Kan suaminya sudah lama tidak pulang-pulang, sudah lupa kalau Kan itu pembohong besar dan tidak bakalan bisa membuatkan rumah kare­na uangnya sudah ludes untuk berjudi serta main perempuan di luaran. Mela­lui radio komunikasi Ling melacak di mana Kan berada. Ditanyakan kepada kawan-kawan udara, tetapi tidak juga didapatkan keterangan. Cuat-cuit terns mendesing dan Bapak Ibu merasa sa­ngat dibisingkan. Tetapi man melarang mereka enggan. Nanti malah membuat Ling sangat sedih dan pusing.Sementara itu Lung semakin percaya kepada keakuannya, kepada egoisme­nya, dan merasa lebih baik nganggur sa­ja di rumah. Terpaksa menyusahkan ba­pak dan ibunya yang berangkat tua dengan rambut jadi perak semua. Bagaimanapun Bapak masih bersyu­kur bisa tenang menjalani masa pensi­unnya di Bintan, menempati rumah ha­sil keringat sendiri, berhasil mendirikan surau wakaf dan dia sebagai pemimpin plus imam tetapnya. Dia bahagia bersa­ma para tetangga yang seiman menja­lankan salat secara taat, membaca sela­wat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam, membaca wirid-bvirid, berdoa panjang-panjang, dan kemudian bersa­laman."Astagfirullah aladhiem," katanya seti­ap habis salat, "Ampunilah segala dosa dan salahku, ya Allah. Aku rela Kau hu­kum, ya Allah, tetapi jangan ketiga anak­ku yang di rumah sekarang ini. Sejauh dan sebanyak pengalaman mereka ma­sih sangat kecil jika dibandingkan de­ngan pengalamanku. Mereka belum ba­nyak mengecap kesenangan sedangkan diriku sudah begitu berlebihan. Maka mohon anak-anakku tersebut Kau buat senang, ya Allah. Serahkan dosa mere­ka kepadaku dan biarlah aku yang me­nanggung dera-Mu, bukan mereka. Lang sungguh kasihan, belum pernah memiliki istri yang menyenangkannya: Ling ternyata ditinggal Kan tanpa kata­kata cerai dan sekarang hidupnya me­lambung tidak berketentuan sementara anak-anaknya, cucu-cucuku, sangat mengharapkan seseorang yang harus­nya mengurus dan memperhatikan. La­lu terakhir untuk Lung, mohon kiranya Kau memberinya pekerjaan apa pun asal halal, ya Allah."Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti tidak bering­sut dari tempat duduknya. Tidak terge­rak untuk pergi-pergi atau berusaha la­in. Mereka tersenyum-senyum saja ka­lau melihat orang-orang sekitar sibuk berangkat kerja. Mereka tetap bangga minum teh di beranda. Sorenya tampak lagi di beranda minum teh hangat yang sama. Apa yang barns mereka pikirkan? Mengapa dipikirkan?Saudara-saudara mereka ada juga yang menaruh perduli kepada Lang, Ling, dan Lung. Pernah beberapa orang dari mereka mengundang ke Bandung atau Jakarta. Untuk mencoba kerja be­berapa saat. Tetapi tidak berlangsung la­ma. Iklim dan gaya Jakarta tidak cocok dengan mereka. Lang,, Ling, dan Lung seperti turis saja selama di Ibu Kota. Mereka bertamasya ke pusat-pusat re­kreasi. Kesempatan untuk melupakan persoalan. Sudah sangat jenuh pada problem-problem hidup. Maksud saudara-saudaranya meng­~ undang Lang ke Bandung dan Jakarta sebenarnya baik. Lebih-lebih saat ber­ada di Ibu Kota. Di situ Lang bisa tahu bagaimana orang-orang hidup sehari­harinya. Asal mau kerja saja. Yang sopir bus atau mikrolet. Yang ojek. Yang ber­belanja barang-barang kelontong dari pasar Tanahabang atau Manggadua lalu dijual lagi di tempat lain. Atau berjualan makanan. Bahkan main semprit di ping­gir jalan bisa menghasilkan duit. Pilih lapangan kerja yang mana? Mau, eng­gak?Lang, Ling, dan Lung tidak tertarik pada apa pun. Mereka kembali pada keputusan semula. Tidak man kerja pa­da orang lain. Tidak man susah-susah. Kecuali kerja untuk diri sendiri. Lalu di­tinggalkanlah Jawa dan kembali berco­kol di Bintan.Berapa besar pensiun Bapak seka­rang? Berapa usia uang pensiun sebulan untuk hidup Bapak, Ibu, Lang, Ling, ', Lung, serta tiga cucu yang mulai rema- I ja? Entah dari mana dicarikan tambah­an. Usaha membuat kue untuk dikirim ke warung sekolah tidak seberapa. Anak-anak Bapak yang di Jawa sudah punya kewajiban dan tanggung jawab­nya sendiri-sendiri: Sangat jarang mere­ka kirim uang kepada Bapak atau Ibu biarpun dulunya waktu bersekolah me­reka selalu rutin dikirimi wesel dari Bintan. Walaupun begitu toh tiap sore orang-orang itu tetap duduk di beranda minum teh hangat. Belum pernah terli­hat mereka ikut bangkit saat azan ma­grib kemudian salat, apalagi ikut baca selawat, ikut baca wirid, doa-doa yang panjang, dan bersalam-salaman. Belum pernah mereka lakukan. Belum pernah, i sekali lagi belum pernah. Ya, tidak apa­apa. Semua diwakili Bapak dan Ibu saja. Bapak imam surau dengan anggota makmum para lelaki. Ibu bersama ibu-ibu para tetangga di saf belakang dibatasi kain panjang setengah dinding surau juga sebagai makmum. Mereka terns menjalaninya dengan taat dan pe­nuh kepasrahan.Jangan salahkan siapa-siapa. Dari du­lu mereka begitu. Seperti fidak beringsut dari tempat duduknya. Tidak tergerak untuk pergi-pergi atau usaha lain. Walaupun demikian mereka amat menyadari bahwa "masa kejayaan" dulu tidak mungkin terulang kembali. Kalau waktu itu mereka mau memperhitung­kan masa depan tidak akan terperosok begini. Bayangkan, begitu royalnya Lang mengirimi orang-orang di rumah lembar-lembar pound atau dolar dan Lang sendiri meremehkan untuk mena­bung. Suami Ling terns melengkapi alat­alat radio komunikasinya. Pernah pula mendatangi alamat "kawan udara"-nya di NTB, di Kalimantan, atau di ujung Sa­bang sana. Agar terlihat lebih bergengsi di mata para tetangga suami Ling tidak mau ketinggalan membeli bermacam-macam burung. Dari gelatik, prenjak, kakaktua, beo, poksai, bahkan sampai cucakrawa. Berapa untuk makanan burung yang aneh-aneh dan mahal itu? Suami Ling tidak mau menghitung-hitung. Yang penting kalau malam meneruskan bercuat-cuit dengan radio komunikasi, siangnya asyik lagi dengan burung­burungnya. Sayangnya setelah itu usaha busnya macet. Rencananya banyak yang tidak mengena. Berpangkalnya dari situlah. Suami Ling jarang pulang. Akhirnya diisukan pergi dengan perem­puan lain entah ke mana. Ling tidak per­caya. Atau dia takut kalau isu yang ma­kin keras itu jadi kenyataan. Sberat-berat pukulan memang kenyataan itu sendiri. Tidak perlu lagi ditanyakan di mana sekarang suaminya berada. Ling pokoknya sudah menyatu dengan Lang dan Lung di rumah itu dan berdialog secara membisu. Radio komu­nikasi yang dulu bercuat-cuit tiap malam membisingkan beberapa saat kemudian terbengkalai. Mana kuat melunasi iuran-iuran kalau tuntutan mulut anak­anaknya lebih bercuat cuit? Peduli de­ngan burung-burung yang berceloteh merdu dan indah dipandang, peduli amat. Yang lebih utama adalah celoteh anak-anaknya sendiri yang manusia. Darah daging itu yang harus disuapi, di­beri pakaian, dan disekolahkan. Perkara burung lemas dan kelaparan masa bo­doh amat. Yang tinggal kemudian ada­Iah sangkar-sangkarnya. Pindah ke ta­ngan orang lain yang membelinya de­ngan sangat murah. Lain-lainnya mati tidak terurus. Sama juga dengan tiang besi yang tinggi untuk antena radio suaminya. Tiang besi yang setinggi tiga pohon kelapa itu tetap berdiri tegak dan sering bergoyang-goyang kalau ditiup angin keras. Bapak dan Ibu sangat mengkhawatirkan bisa roboh dan men­celakakan orang. Tatapi Lang, Ling, dan Lung tidak menganggapnya berbahaya. Mereka cuek saja dan tiap sore masih terus duduk-duduk di beranda. Jangan salahkan siapa-siapa.Jkt, 3 Maret 1996 ''~